Mengenai Saya

Foto saya
Aek Kanopan, Sumatera Utara, Indonesia

Stasi&Sejarah

Nama Seluruh Stasi

1. Stasi Wilayah Adian Baja Aek Kanopan

2. Stasi Wilayah Adian Modang Aek Kanopan
3. Stasi Wilayah Adian Torup Aek Kanopan 
4. Stasi Wilayah Aek Kanopan Aek Kanopan
5. Stasi Wilayah Aek Nabara Aek Kanopan
6. Stasi Wilayah Aek Nauli Aek Kanopan
7. Stasi Wilayah Bandar pulo Aek Kanopan
8. Stasi Wilayah Bulu Cina Aek Kanopan
9. Stasi Wilayah Cinta Rame Aek Kanopan
10. Stasi Wilayah Galanggang Aek Kanopan
11. Stasi Wilayah Harian Timur Aek Kanopan
12. Stasi Wilayah Hau Napitu Aek Kanopan
13. Stasi Wilayah Huta Baru Aek Kanopan
14. Stasi Wilayah Jambur Damuli Aek Kanopan
15. Stasi Wilayah Kampung Baru Aek Kanopan
16. Stasi Wilayah Kilang Saudara Aek Kanopan
17. Stasi Wilayah Kuala Tani Aek Kanopan
18. Stasi Wilayah Labuhan Haji Aek Kanopan
19. Stasi Wilayah Lalang Bundar Aek Kanopan
20. Stasi Wilayah Makmur Aek Kanopan
21. Stasi Wilayah Marjani Aceh Aek Kanopan
22. Stasi Wilayah Pdg. Mahondang I Aek Kanopan
23. Stasi Wilayah Pdg. Mahondang II Aek Kanopan
24. Stasi Wilayah Stasi Pamaratan Aek Kanopan
25. Stasi Wilayah Pamingke Stasiun Aek Kanopan
26. Stasi Wilayah Pancasila Aek Kanopan
27. Stasi Wilayah Panigoran Aek Kanopan
28. Stasi Wilayah Pardamaran Aek Kanopan
29. Stasi Wilayah Pardomuan Nauli Aek Kanopan
30. Stasi Wilayah Parsaoran Aek Kanopan
31. Stasi Wilayah Pinggol Toba Aek Kanopan
32. Stasi Wilayah Pulo Angin Aek Kanopan
33. Stasi Wilayah Pulo Gombut Aek Kanopan
34. Stasi Wilayah Pulo Harapan Aek Kanopan
35. Stasi Wilayah Pulo Maria Aek Kanopan
36. Stasi Wilayah Pulo Raja Aek Kanopan
37. Rambung Merah Aek Kanopan
38. Stasi Wilayah Sei Naetek Aek Kanopan
39. Stasi Wilayah Sei Peranginan Aek Kanopan
40. Stasi Wilayah Sei Piandang Aek Kanopan
41. Stasi Wilayah Simpang Empat Aek Kanopan
42. Stasi Wilayah Sinar Toba Aek Kanopan
43. Stasi Wilayah Situngir Aek Kanopan
44. Stasi Wilayah Suka Maju Aek Kanopan
45. Stasi Wilayah Sungai Apung Aek Kanopan
46. Stasi Wilayah Sungai Juragan Aek Kanopan
47. Stasi Wilayah Sungai Karet Aek Kanopan
48. Stasi Wilayah Sungai Piring Aek Kanopan
49. Stasi Wilayah Tangkahan Bosi Aek Kanopan
50. Stasi Wilayah Tangkahan Habeahan Aek Kanopan
51. Stasi Wilayah Tangkahan Manggis Aek Kanopan
52. Stasi Wilayah Tapian Nauli Aek Kanopan
53. Stasi Wilayah Teluk Ampean Aek Kanopan
54. Stasi Wilayah Teluk Binje Aek Kanopan
55. Stasi Wilayah Trans Aek Kanopan Aek 
56. Stasi Wilayah Tunggul Morbo Aek Kanopan Aek
 

1.   PULO MARIA
Sejarah
 

      Pada awalnya, di Pulau Maria belum ada gereja Katolik, meskipun di sana sudah ada umat Katolik. Pada tahun 1976, umat Katolik Pulau Maria beribadat ke Stasi Padang Mahondang. Namun, apabila musim banjir, mereka beribadat ke Aekkanopan (paroki). Mereka tidak pergi ke Kisaran karena jalan ke Aekkanopan lebih bagus daripada ke Kisaran.
Prakarsa dari Bapak Sinabariba (sebelumnya beragama HKBP) untuk membentuk perkumpulan Katolik di Sei Piring (tahun 1976) sangat membantu bagi umat di Pulau Maria. Mengingat jarak antara Sei Piring dengan Pulau Maria tidak terlalu jauh, maka umat dari Pulau Maria beribadat ke Sei Piring. Mayoritas umat Sei Piring adalah pedagang, sehingga setiap hari Minggu I (masa gajian) sangat sedikit orang yang datang ke gereja. Umat Pulau Maria yang datang ke Sei Piring sering hanya berjumpa dengan beberapa orang saja yang beribadat. Hal ini membuat umat dari Pulau Maria sering merasa kecewa.
Di Pulau Maria sendiri ada seorang bapak yang awalnya adalah umat Katolik pindah agama ke Protestan (HKBP) karena tidak adanya gereja Katolik di Pulau Maria. Melihat mobilitas umat Katolik yang pergi ke Sei Piring, beliau berniat kembali ke Katolik dan mengusulkan agar pelaksanaan ibadat diadakan di Pulau Maria. Hal itu baru terwujud setelah bapak A. Tampubolon (awalnya HKBP) mengusulkan agar ibadat dilangsungkan di rumahnya. Atas permintaan paroki, Bapak A. Tampubolon dan J. Samosir diutus untuk mengikuti kursus pengurus Gereja di PPU-Pematangsiantar. Suatu ketika terjadi konflik antara Bapak J. Samosir dengan A. Tampubolon, sehingga Bapak A. Tampubolon tidak lagi bersedia memberikan rumahnya sebagai tempat berkumpul/beribadat. Bapak A. Tampubolon kembali ke HKBP.    Oleh karena itu bapak J. Samosir mengusulkan pendirian gedung gereja Katolik di Pulau Maria. Kira-kira tahun 1977/1978, gedung gereja sederhana berukuran 4x6 m didirikan di atas tanah milik Bapak P. Malau yang luasnya 5x20 m. Tanah dan gedung gereja itu berada di Jl. Pulau Tanjung – Air Batu. Bahan-bahan bangunan yang berhasil dikumpulkan dari umat antara lain: seng dari Bapak J. Samosir, bangku dan papan dari S. Panjaitan (seorang Muslim, panglong; punya relasi yang dekat dengan Bapak Sihotang/Op. Tio Doli (alm.), tepas dari Bapak Sihotang bersama umat yang lain.
Mengingat status tanah adalah pinjaman, maka diadakan doa rosario bergiliran setiap minggu dengan agenda pengumpulan dana Rp 250 / KK. Jumlah umat pada periode ini sudah mencapai kurang lebih 14 KK dan sebagai ‘porhanger sementara’ adalah Bapak Sinabariba (dari Sei Piring). Bapak Sinabariba digantikan oleh Bapak Sihite (pindah dari Sei Naetek ke Pulau Maria karena musim banjir). Hasil pengumpulan dana dari doa rosario bergiliran dipakai untuk membeli tanah di dekat rel Kereta Api (lokasi gereja saat ini). Luas tanahnya kira-kira 3 rante yang dibeli pada tahun1979. Doa rosario dilanjutkan dengan sasaran membeli bahan-bahan bangunan. Selain doa rosario, diadakan juga pengedaran kartu-kartu untuk meminta sumbangan kepada donatur, ditambah dana dari.
Ketika gedung gereja pindah dari Jl. Pulau Tanjung ke gedung gereja sekarang jumlah umat sudah mencapai 17/18 KK. Porhanger waktu itu adalah Op. Tio Sihotang (alm.), dibantu oleh: Op. Wen Hasugian, A. Esron Manik, A. Marihot Simarmata (bendahara). Peletakan batu pertama untuk gedung gereja baru dilakukan oleh P. Norbert Ambarita, OFMCap. (Pastor paroki waktu itu), tepatnya pada tahun 1980. Dana untuk itu berasal dari umat (5 juta rupiah) dan paroki (5 juta rupiah). Gedung gereja selesai dibangun pada tahun 1982 dan langsung diberkati oleh Mgr. A. G. Pius Datubara, OFMCap. Sampai saat ini, jumlah umat mencapai 27 KK dengan cacahan sekitar 121 jiwa.   
Ibu R. Br. Hotang (KDS) dan Ibu R. Br. Ginting (Bendahara) 
Berikut urutan nama Porhanger dan pengurus gereja lainnya di Stasi Pulau Maria: (I) Bapak Sinabariba (tahun 1977/1978);  (II) Bapak Sihite (tahun 1978 - ...);   (III) Bapak M. Sihotang (Op. Tio doli)   dibantu oleh A. Hasugian, A. Manik, J. Sinurat, A. Marihot Simarmata;   (IV) A. Hasugian dibantu oleh : M. Sihotang, J. Sinurat, dan J. Sitanggang;   (V) Op. Tio br. Sitanggang dibantu oleh: J. Sitanggang, Ibu br. Sihotang, Op. Wen Hasugian;  (VI) J. Sitanggang (2002 – 2007) dibantu oleh:  Op. Wen Hasugian, R. br. Sihotang, H. Tamba, J. Sinurat, dan Op. Tio br. Sitanggang;  (VII) R. br. Sihotang (2007 – 2010) dibantu oleh:  F. Simarmata, B. Br. Simangunsong, B. Tarigan, dan Op. Tio br. Sitanggang;   (VIII) R. br. Sihotang (2011 – 2015): dibantu oleh:  B. Tarigan, Op. Tio br. Sitanggang, J. Sitanggang, B. Simangunsong, R. Ginting.

Pada tahun 2009 gereja yang tergolong bagus itu direhab dan rampung tahun 2010. Perehaban terjadi dengan penambahan bagian pengimaman dan penataan  interior sehingga semakin sakral dan tergolong bagus. Pencahayaan dan pengapikan warna juga sedemikian sehingga gereja bagian dalam sangat indah.

Selain itu, untuk peningkatan devosi kepada Bunda Maria sebagai pelindung Stasi ini dibangun dekat dengan pengimaman dan menambah kesakralan bangunan gereja ini. Satu hal yang pantas dibanggakan dari kesatuan umat stasi ini ialah bahwa semangat mereka untuk membangun gereja ini sungguh menggembirakan. Mereka mengumpulkan dana dari umat stasi sendiri dengan cukup banyak lebih dari Rp 100.000.000. Di stasi ini peranan para ibu dalam kepengurusan gereja sangat kentara. Baik bagian dalam maupun sekitar bagian luar gedung gereja selalu nampak tertata rapi dan bersih. Selamat.
Gua Maria ini terletak persis di sebelah kiri pengimaman
Gua Maria terletak di samping kiri pengimaman yang menambah sakralnya suasana gereja 

2.  STASI SANTO PETRUS PADANGMAHONDANG I.
  
      Sejarah.
   
      Pada tahun 1963 di kecamatan Pulau Rakyat tepatnya di Padang Mahondang (± 12 km ke arah timur Pulau Raja), terdapat lahan kosong yang cocok dijadikan persawahan atau panombangan baru. Berita ini tersiar sampai ke pulau samosir, sehingga banyak orang Samosir datang ke Padang Mahondang dengan tujuan bertani atau manombang. Perlu diketahui bahwa daerah ini masih hutan, terbukti masih banyak pohon besar yang harus ditebang agar dapat dijadikan persawahan.
   Di antara orang-orang yang merantau ini ada yang beragama katolik. Pertama-tama mereka beribadat di rumah-rumah karena gereja belum dibangun. Rumah yang biasa dipakai sebagai tempat berdoa adalah rumah Badu Lubis (alm.) dan rumah Dewan Tamba (alm.). Pemimpin perkumpulan doa ini adalah bapak A. Massius Sinaga (alm.). Bapak inilah yang bersusah payah mengumpulkan bapak-bapak untuk berkumpul. Ibu-ibu belum ada karena isteri mereka masih tinggal di Samosir. Kegiatan ibadat di rumah ini berlangsung hampir 1 tahun.
    Pada awal tahun 1964 umat mulai mendirikan gereja secara darurat, bertempat di Aek Kalubi sekarang. Gereja itu terbuat dari tiang kayu bulat, dinding dari sanggar yang diikat dengan rapi, lantai tanah, atap rumbia dan tempat duduk terbuat dari kayu bulat. Pada tahun 1965, gedung gereja ini pindah ke tempat lain yaitu di Suka Ramai (tempat gereja sekarang) yang dibeli dengan swadaya umat dari Bapak J. Haro (alm.), seorang umat Katolik, seluas 40x40 m. Pada tahun ini umat bertambah sekitar 70 KK, karena sesudah peristiwa G30S/PKI orang-orang yang tidak beragama dianggap sebagai anggota PKI. Agama parmalim tidak diakui di Indonesia, sehingga kebanyakan dari agama ‘parmalim’ masuk gereja katolik.
    Perkembangan umat yang cukup pesat membuat stasi ini berniat membangun kembali gedung gereja dengan ukuran yang lebih besar. Akhirnya pada tahun 1966 gedung gereja dibangun dengan ukuran 7x10 m, tiang kayu bulat, dinding dari gedek, atap terbuat dari lalang, lantai tanah, dan tempat duduk dari kayu bulat. Porhanger pada waktu itu adalah A.Massius Sinaga.
Saat Perayaan Jumat Agung
    Pada periodisasi tahun 1970 Bapak Alboin Tamba (alm.) dipilih menjadi porhanger menggantikan A. Massius Sinaga. Pada masa kepemimpinan bapak Alboin Tamba, kehadiran umat di gereja berkurang, karena dana pembangunan gereja berupa beras tidak jelas (hilang). Hal ini mengakibatkan perpecahan, umat Katolik Padang Mahondang menjadi dua, yakni ‘Katolik Aek Niongkal’ dan ‘Katolik Suka Ramai’. Karena situasi ini, pada Juni 1970 umat memilih kembali porhanger, yaitu Bapak Haloho. Setelah Pastor Paroki mengetahui perpecahan ini, beliau datang dan menasihati umat untuk bersatu kembali. Pastor datang untuk merayakan Misa tetapi harus di gereja lama (Suka Ramai). Hal ini membuat umat bersatu kembali.
    Pada tahun 1972 gedung gereja dibangun kembali menjadi semi-permanen, dengan swadaya dari umat yakni Rp. 500 per-KK. Umat yang kurang mampu menggantinya dengan 4 kaleng pasir. Setelah dana terkumpul, pembangunan gereja diserahkan kepada tukang dari Sei Piring bernama Kayun. Tetapi tukang itu melarikan uang pembangunan, sehingga pembangunan terhenti selama 2 bulan. Agar pembangunan dapat dilanjutkan, para pengurus sepakat untuk memohon bantuan kepada Bapa Uskup dan mengutus bapak M. Sirait ke sana. Dalam tempo 2 minggu Bapa Uskup mengirimkan bahan bangunan gereja. Namun, Pastor tetap melakukan pencarian terhadap Si Kayun (kepala tukang). Setelah ditemukan, Kayun diminta membayar ganti rugi, yakni tanah seluas o,5 ha yang terletak di dekat titi Pulau raja (depan Rumah Makan ‘Status Quo’ sekarang).
   
Jumat Agung
Setelah pembangunan selesai, umat semakin rukun dan rajin ke gereja. Para pastor sangat memperhatikan umat baik kebutuhan rohani maupun jasmani. Hal ini terbukti  dari kerja keras Pastor Sceven, OFMCap. Beliau mengusahakan ijin dari Bupati untuk mengelola lahan kosong yaitu proyek Pancasila (IPP). Lahan IPP ini akan dibagikan kepada umat Katolik maupun non-Katolik.
    Tahun 1975 penduduk desa ini semakin ramai dengan kedatangan orang-orang dari berbagai daerah untuk membuka lahan pertanian. Umat Katolik pun bertambah sehingga mencapai 200 KK. Kegiatan gereja juga semakin baik seperti PIK yang mengunjungi umat Katolik yang sakit.
    Pada tanggal 18 Nopember 1974, Bapak A. Sarma Sinaga menjadi Porhanger menggantikan Bapak Sihaloho, karena sakit. Pada masa kepemimpinan Bapak Sarma penyetoran kolekte I ke Paroki mulai terlaksana (sebelumnya tidak pernah). Akan tetapi pada, masa ini kehidupan umat sangat susah karena tanaman padi rusak akibat banjir. Pada tahun 1977, di gereja ini terjadi penerimaan Sakremen Krisma oleh Bapak Uskup Mgr. A. G. Pius Datubara, OFMCap.
    Pada tahun 1980 P. H. Simbolon terpilih menjadi porhanger. Kegiatan gereja berjalan dengan baik seperti Doa Rosario setiap bulan Mei dan Oktober, Drama Natal, dan para Pengurus rajin mengikuti kursus-kursus. Pada tahun 1982 desa ini banjir kembali melanda daerah ini, karena jebolnya benteng sungai Asahan, sehingga padi yang sedang menguning di sawah gagal panen. Sampai tahun 1984 kehidupan umat semakin susah, mata pencaharian hanya menangkap ikan. Hasil tangkapan ini dipakai untuk membeli ubi racun yang diolah menjadi tepung gaplek. Bahkan salah satu anak dari keluarga Katolik meniggal dunia akibat makan ubi racun yang direbus. Oleh karena itu banyak orang pindah dan dengan demikian anggota gereja pun semakin berkurang.
    Pada tahun 1985, terjadi periodisasi pengurus. Setelah pemilihan terjadi terjadi perpecahan, karena calon-calon porhanger dari Parsaoran tidak terpilih. Porhanger terpilih saat itu berasal dari Aek Niongkal yaitu Antonius Simbolon. Hal inilah yang menyebabkan berdirinya gereja Katolik Padang Mahondang II. Situasi ini menjadi penyebab berkurangnya umat Katolik. Anggota gereja lama tinggal 150 KK.
    Selama kepemimpinan A. Simbolon keaktifan umat ke gereja semakin baik walaupun gereja sudah terbagi dua. Kegiatan PIK semakin digalakkan dalam koor, pendalaman iman yang dibina oleh suster, perlombaan koor khusus bapak-bapak se-rayon Padang Mahondang. Pada tahun 1985 gereja semi permanen direhab menjadi permanen. Pembangunan ini bermula dengan adanya bantuan dari pemerintah untuk rumah-rumah ibadat dan gereja Katolik mendapat bantuan sebesar Rp 1.200.000,00. Demi terlaksananya bangunan gereja yang permanen, bantuan ini ditambah oleh umat. Umat diwajibkan membayar 4 kaleng beras/KK atau setara dengan Rp 40.000. Pada masa itu ½ dari biaya pembangunan dibantu oleh Keuskupan,sehingga Gereja Katolik Padang Mahondang I dapat berdiri dengan bangunan permanen.
    Tahun 1989 – 1992, porhanger adalah Markus Sinaga. Kegiatan gereja mengalami perkembangan, seperti doa Rosario diadakan di rumah umat yang jarang ke gereja, pembentukan kumpulan bapak-bapak atau PAK. Pada masa ini juga diadakan sambut komuni pertama untuk anak-anak kelas V SD s/d SMP. Pada masa itu sintua yang berjumlah 12 orang, mengadakan pembinaan kepada umat yang berasal dari Protestan yang ingin menjadi Katolik. Pada tanggal 29 Juni 1992 diadakan penerimaan Sakremen Krisma sekaligus pemberkatan gereja, dengan nama pelindung St. Petrus.
    Sekitar tahun 1993 porhanger meninggalkan Padang Mahondang dan pindah ke Riau, karena keadaan  ekonomi yang tidak mendukung. Umat pun semakin berkurang menjadi 110 KK karena banyak yang pindah ke Sidaludalu untuk menanam sawit. Kepemimpinan Markus Sinaga digantikan oleh wakilnya M. Marbun sebagai pelaksana. Pada tahun ini juga Bapak M. Marbun terpilih menjadi porhanger sampai bulan Juni 1999. Selama kepemimpinan M. Marbun kehidupan menggereja semakin digiatkan bahkan semakin berkembang seperti: pembahasan Kitab Suci yang akan dikotbahkan pada hari Minggu sesuai dengan kelender liturg, yang dilaksanakan setiap malam minggu dan mengikuti Kursus kesejahteraan keluarga. Pada masa itu jumlah umat tinggal 104 KK, karena banyak yang pindah ke tempat lain.
    Pada tanggal 1 Oktober 1999 s/d tahun 2006 porhanger adalah S. Sinaga atau A. Fitri Sinaga selama tiga periode. Kegiatan gereja masih berjalan baik seperti biasa, jumlah pengurus bertambah menjadi 18 orang. Kesatuan pengurus dapat juga dibanggakan. Koordinasi dengan pihak paroki juga tergolong baik. Akan tetapi kesadaran umat dalam hal melakukan kewajiban sebagai anggota gereja masih kurang. Hal itu  terbukti dari pembayaran iuran Paroki yang masih tersendat-sendat.
    Periode selanjutnya (2007-2010) stasi ini  dipimpin oleh Bapak Lubis. Dalam masa bakti ini, kondisi Stasi cukup mengalami pergolakan karena ada kesan bahwa umat kurang percaya kepada para pengurus tertentu terutama berkaitan dengan pengelolaan duit. Untuk mencoba menanggulangi permasalahan ini, pastor paroki bersama DPP turun untuk membuat rapat khusus, tetapi di antara pengurus tidak ada keterbukaan untuk mengungkap permasalahan.  Pihak paroki sudah memprakarsai untuk pengevaluasian situasi yang ada dengan membuat sermon khusus stasi. Hal inipun tidak memberi hasil sebagaimana yang diharapkan.
    Dalam kondisi sedemikian, periodisasi kepengurusan mengalami babak baru sesuai dengan harapan keuskupan. Masa bakti bukan lagi berlaku selama 3 tahun dalam satu masa bakti tetapi menjadi 5 tahun. Masa bakti pengurus 2010 – 2015 dipimpin oleh Bapak Ambarita Simbolon. Riak-riak ketidak-percayaan umat terhadap pengurus yang baru ini pun masih terasa. Bahkan antara pengurus sendiri terjadi curiga mencurigai.  Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Bapak Ambarita Simbolon. Beliau berupaya untuk berlaku transfaran dalam pengelolaan keuangan sehingga borok-borok pengurus lama semakin terungkap. KDPS ini sampai meneteskan air mata di hadapan pastor paroki karena penghinaan yang dialaminya dari sesama pengurus. Akan tetapi Bapak ini bertekad tidak akan mundur selangkah pun untuk membuat yang terbaik semampunya demi kebaikan Stasi St. Petrus Padang Mahondang I ini.
    Karena bapak ini juga termasuk anggota Dewan Pastoral Paroki maka dia cukup mengerti bagaimana pihak paroki bersikap terhadap stasi ini. Kebijakan-kebijakan paroki pun diterangkan dan berusaha diterapkannya dengan baik, kendati belum bisa secara langsung berterima bagi sebahagian umat yang tergolong sebagai umat yang tidak gampang dilayani.
Dari dulu sampai saat ini, kondisi stasi ini juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan Ikatan Petani Pancasila yang ada di kawasan ini. Penanganan atas permasalahan lahan Ikatan Petani Pancasila pada saat ini sedang menghangat sampai melibatkan aparat pemerintah dan keamananan negara. Dalam hal ini para pengurus tergolong bisa diajak kerjasama oleh pihak paroki terutama Bapak Ambarita Simbolon tetap berupaya sederap dengan pihak paroki atau Caritas PSE Paroki. Semoga ke depan stasi ini terbuka terhadap tuntunan paroki dan pihak-pihak rayon sehingga pelan-pelan stasi yang memiliki jumlah umat terbesar kedua setelah stasi induk Aekkanopan di paroki St. Pius X Aekkanopan, dapat mengalami perkembangan yang signifikan. Salam.
3.  STASI KRISTUS RAJA SUNGAIPIRING

      Sejarah



      Sekitar awal tahun 1970-an para perantau datang ke Sungaipiring. Sebagian mereka beragama  Katolik. Saat itu para perantau (yang katolik) merasa kebingungan mencari gereja Katolik. Mereka ingin beribadat, teristimewa pada hari Minggu tetapi tidak menemukan gereja Katolik.  Beberapa keluarga sempat pindah ke sekte protestan. Sebagian besar bergabung dengan umat stasi Pulau Raja.


Umat beribadat di gereja Okumene perkebunan PTPN IV Pulau Raja. Karena banyak sekte yang beribadat secara bergantian, maka setiap kali jumpa  perayaan malam Natal,  umat Katolik tidak dapat giliran untuk memakai gereja eukumene  tersebut. Untuk merayakan Natal umat harus pergi ke gereja Paroki St Pius X Aekkanopan dengan jarak lebih kurang 20 km.
Dengan situasi yang demikian, umat ingin mendirikan tempat peribadatan mereka sendiri. Akan tetapi mereka kesulitan  untuk menemukan tempat karena penduduk mayoritas non Kristen. Kendati demikian, umat tidak menyerah. Kemauan mereka untuk mempunyai tempat peribadatan tidak berhenti. Memang benar kata pepatah: “Dimana ada kemauan di situ ada jalan”. Atas keinginan kuat untuk menemukan tempat peribadatan maka umat meminjam tanah milik salah seorang umat yaitu Bapak A. Sinaga.
Pada tahun 1976 gereja Katolik Sungaipiring didirikan dengan kondisi  sangat darurat. Mula-mula umat berjumlah 5 (lima) kepala keluarga (KK). Kebaktian dipimpin oleh bapak Manurung dari  Stasi Pulauraja. Tetapi karena jauhnya Pulau raja ke Sungai Piring maka tidak berapa lama bapak Manurung digantikan oleh Bapak A. Sinaga menjadi porhanger. Pastor Paroki waktu itu Pastor Arie Van Diemen OFM. Cap.
Utusan umat berangkat ke paroki untuk menemui Pastor Arie van Diemen. Mereka mengutarakan niat mereka untuk mendirikan gereja yang lebih layak. Pastor paroki memberi dukungan seraya memberi beberapa pertimbangan. Kalau hendak  mendirikan gereja harus ada pertapakan  dan suratnya diserahkan ke Paroki, demikian nasihat Beliau. Karena umat sangat merindukan tempat peribadatan, umat berupaya terus menerus untuk mengindahkan hal-hal yang dianjurkan pastor paroki. Lalu mereka mengurus surat tanah serta menyerahkannya ke Paroki. Sementara itu  umat pun tetap semakin bertambah.
Dalam periode tahun 1978-1987 vorhanger A. Sinaga digantikan oleh bapak Silalahi. Umat bertambah menjadi 15 KK dan kesungguhan umat mendirikan  gereja semakin kuat.  Gereja sangat darurat diubah menjadi  gereja  sederhana berukuran 7 x 9 m. Waktu itu, Sr Imelda br Harianja, KYM bertugas di Paroki Aekkanopan menganjurkan nama gereja  “Kristus Raja“. Vorhanger Silalahi sangat antusias dalam menunaikan tugasnya demi perkembangan umat Allah. Kegigihan Beliau sungguh memberi andil yang sangat signifikan dalam perkembangan Gereja. Beliau seorang pemimpin umat yang memiliki dedikasi tinggi dan iman yang patut diteladani.  Sayangnya Beliau cepat menghadap  Tuhan Allah Penciptanya. Tepat pada Jumat Agung  tahun 1987 sore hari Beliau meninggal. “Bapa Silalahi yang kami cintai: Beristirahatlah dalam damai Tuhan” doa kami menyertaimu dan doakan juga kami.
Pada tahun 1987 – 1990 porhanger diganti oleh bapak J. Sidabariba. Umat semakin bertambah menjadi 19 KK. Mengingat pertambahan umat yang tergolong cepat ini, maka gereja ditambah panjangnya menjadi 7 x 12 m tetapi masih tetap  dengan dinding tepas. Sayang sekali,  porhanger J. Sidabariba cepat pindah tempat ke Jambi. Beliau digantikan oleh bapak A. Sitorus. Bapak A. Sitorus juga tidak dapat bertugas otimal dan hanya beberapa saat karena  kesibukan Beliau sebagai karyawan kebun RGM.
Pada tahun 1990 – 1993 Porhanger yang terpilih Bapak J. Sitanggang yang dilantik Pastor  Yakobus, OFM. Cap. Umat yang bertambah jumlahnya menjadi 22 KK. Meliahat dinding tepas gereja yang sangat memprihatinkan ini maka tergeraklah hati Pastor Yakobus, OFM. Cap untuk mencari bantuan pembangunan. Sewaktu Belia pulang tempat asalnya Pulau Jawa Beliau mencoba mencari dana. Hasil dari usahanya  sebanyak Rp. 1.000.000.  Swadaya umat dan donasi dari pihak lain menjadi modal untuk menggantikan dinding gereja menjadi beton setinggi kira-kira 270 cm. Sementara itu atap masih dalam kondisi semula.
Pada tahun 1993 – 1996 sesuai dengan masa bakti periodisasinya,  pengurus stasi yang baru diketuai oleh  Bapak A. Kaban. Umat terus bertambah sehingga menjadi 26 KK pada waktu itu. Pada masa ini juga lampu PLN diinstalasi ke dalam gereja, sebab kegiatan gerejani cukup sering terjadi pada waktu malam di gereja.
Pada tahun 1996 – 1999 periode kepengurusan stasi kembali kepada Bapak J. Sitanggang sebagai Porhanger. Umat bertambah menjadi 28 KK. Pembangunan tersendat karena krisis moneter.
Pada tahun 1999 periode kepengurusan stasi, Bapak P. H. Sinaga terpilih menjadi Ketua Dewan Stasi. Umat mentambah menjadi 30 KK akan tetapi kondisi gereja juga makin memprihatinkan baik dari segi kekuatan fisiknya maupun dari segi daya tampungnya. Tiang kayu dan atap gereja sudah lapuk dan goyang. Kalau hujan turun dan angin bertiup saat beribadat dalam gereja, umat mengalami ketakutan tertimpa atap yang sangat rawan roboh. Selain itu, jika terik matahari terjadi pada saat beribadat dalam gereja, umat juga sangat gerah dan gelisah karena cuaca panas yang tak bersahabat.
Dengan kondisi yang sedemikian, umat semakin merasa membutuhkan gereja yang lebih laik pakai. Bapak Yusuf Masuli, seorang umat kebetulan menjadi manager PT Lonsum Gunung Melayu. Bapak ini menyemangati dan mendorong umat terus menerus untuk membangun gereja sehingga terbentuk Panitia Pembangunan Gereja pada tahun 2000. Beliau bersedia menjadi ketua pembangunan. Dan sebagai bentuk dukungan kongkritnya, Beliau menyumbangkan sebanyak 30 truk timbunan tanah. Dan semampu umat keseluruahan, dana secara serius diupayakan sehingga dapat terkumpul sekitar Rp 20.000.000 pada tahun.
Dengan dana sebesar Rp 20.000.000 ini, panitia menghadap P.Nelson Sitanggang, OFMCap selaku parokus pada saat itu. Kerjasama panitia pembangunan dan umat dan pihak paroki akhirnya pembangunan dilaksanakan pada tahun 2001 dan dirampungkan serta diberkati pada tahun 2002 dengan menghabiskan dana kurang lebih Rp 150.000.000.
Umat mengalami sukacita yang tak terungkapkan ketika megahnya bangunan berdiri siap untuk diberkati dan dipakai memuji dan memuliakan nama Tuhan. Rasa letih saat membangun berubah menjadi rasa haru dan bangga penuh persaudaraan dan suka cita. Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap selaku Uskup Agung Medan pada saat itu dengan penuh semangat juga memberkatinya. Pemberkatan gereja ini menjadi lebih meriah lagi karena  pada saat itu juga berkumpul umat se-rayon Asahan untuk merayakan paskah rayon.
Pada saat gereja diberkati jumlah umat sudah menjadi 30 KK. Sejak berdirinya dengan megah gereja Statsi Kristus Raja Sungai Piring ini, kebanggaan umat juga sangat terasa sebagai orang beragama Katolik. Kekompakan dan kemandirian mereka juga sangat pantas dipuji dan diteladani oleh stasi-stasi yang lain. Mereka pantas memang menjadi umat Stasi Induk Rayon Asahan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh para pengurus gereja teristimewa Ketua Dewan Stasi Bapak P. H. Sinaga yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Rayon Asahan pada waktu itu. Dibawah kepemimpinan Beliau umat sangat dinamis dan selalu seiring dengan pihak paroki dalam menggembangkan hidup menggereja.
Pada saat periodisasi masa bakti 2007 – 2010 tongkat estapet kepemimpinan diserahkan dari P.H. Sinaga kepada Bapak Marihot Situmorang, SPd. Dan sekaligus juga menjadi Ketua Rayon. Pada saat itu kondisi kesehatan Bapak P.H. Sinaga makin menurun karena mengidap penyakit kangker. Namun Beliau masih tetap semangat memberi hati, pemikiran dan tenaga untuk melayani umat Allah di Rayon dan di Stasi dan bahkan di Paroki. Akhirnya pada tahun 2010, Bapak P.H. Sinaga setelah begitu lama menderita oleh kangker, menghebuskan nafasnya yang terakhir. Umat se-stasi, rayon dan bahkan paroki St. Pius X Aekkanopan betul-betul merasa kehilangan. Selamat beristirahat dalam damai bersama Bapa di surga Bapak P. H. Sinaga yang kami cintai dan banggakan.
Masa bakti kepengurusan (2010 – 2015) stasi Kristus Raja Sungai Piring dan rayon Asahan selanjutnya masih dipercayakan untuk kedua kalinya kepada Bapak Marihot Situmorang, SPd. Kemampuan, kebaikan dan keteladanan Bapak ini tidak kalah dengan yang dimiliki almarhum P.H. Sinaga. Selain di stasi dan rayon Bapak Marihot Situmorang terlibat juga dalam kepengurusan DPP St. Pius X Aekkanopan, sebagai anggota Harian DPP dan juga sebagai seksi Pendidikan Katolik.
Baik umat di stasi maupun di rayon Asahan, sungguh dilayani Bapak ini dengan sebaik mungkin. Teristimewa usaha dan pemikirannya sangat berpengaruh positif dalam pengupayaan rayon yang dinamis dan sungguh hidup. Hal itu sangat nampak dalam pengupayaan kesatuan umat serayon untuk mengumpulkan dana pembangunan pusat pelayanan umat di rayon Asahan. Gerakan Rp 1000 per minggu berjalan cukup menggembirakan.
Marihot Situmorang (KDPS dan Ketua Rayon)
Rencana pembangunan Tempat atau Pusat Pelayanan umat se-rayon ini sudah pelan-pelan berjalan. Areal tanah seluas 8 rantai sudah ditembok keliling dengan biaya Rp 40.000.00040.000.000 pada tahun 2011. Sementara dana untuk membangun Tempat atau Pusat Pelayanan  (Wisma Serbaguna) secara pelahan namun pasti sudah terkumpul kurang lebih Rp 100.000.000. Dan sekarang sudah mulai dirancang gambar bangunan dan proposal dengan rencana pembangunan bertahap.
Semoga umat Allah se-stasi Sungai Piring dan serayon mengalami berkat Tuhan atas segala rencana mulia ini. Dan semoga juga semua pihak semakin tergerak hatinya untuk mendukung usaha baik ini.  Dan akhirnya, profisiat bagi stasi Kristus Raja Sungai Piring. Semoga berkat Kristus Sebagai Raja sungguh merajai segala gerak perkembangan umat dan seluruh keluarga se-stasi. Salam.

 

4.  STASI SANTO ROBERTUS AEKNAULI  

Sejarah
    

Di sebelah Utara Paroki Aekkanopan terdapat sebuah perkampungan yang dinamai Aek Nauli. Pada tahun 1968, beberapa panombang dari berbagai tempat memasuki kampung ini. Di antara para panombang tersebut terdapat 3 KK yang beragama Katolik, yakni keluarga B. A Silalahi, B. Simbolon, dan J. Sitinjak (Op. Hotlan). Ketiga keluarga tersebut mendaftarkan diri ke gereja Katolik Stasi Padang Mahondang dan untuk sementara beribadat di sana.
   Bapak B. Silalahi (alm.) merupakan perintis berdirinya stasi Aek Nauli. Beliau menuturkan dalam surat wasiat peninggalannya bahwa umat di Aek Nauli kesulitan beribadat ke Padang Mahondang, karena jarak yang cukup jauh dan kondisi jalan yang tidak bagus. Oleh karena itu, ibadat dilakukan di rumahnya sendiri. Hal ini berlangsung hingga tahun 1973. Pada saat ini jumlah umat sudah bertambah menjadi 5 KK, yaitu tiga keluarga perintis yang sudah disebut di atas, ditambah keluarga S. Siregar dan S. Tampubolon. Pada tahun itu juga, kelima KK ini mendirikan gedung gereja darurat berukuran 5x7 m yang terdiri atas kayu bulat, atap ilalang, dan tanpa dinding. Tanah pertapakan gereja itu sebelumnya adalah milik bapak B. A. Silalahi. Tanah seluas 1,5 rante itu dibayar dengan harga 12 kaleng beras.
Letak geografis tanah tersebut adalah sebagai berikut:
Utara, berbatasan dengan A. Meri Sihombing (30 m)
Timur, berbatasan dengan tanah B.A. Silalahi (25 m)
Selatan, berbatasan dengan tanah Siagian (30 m)
Barat, berbatasan dengan jalan (14 m).
Adapun saksi-saksi antara lain: St. P. Siregar, St. M. Sitinjak, St. S. Tampubolon, dan St. S. Siregar. Namun, pada tahun 1974, gereja tersebut tumbang diterpa angin.
    Pastor Arie van Diemen membantu mereka untuk membangun kembali gereja yang telah roboh, dengan memberikan seng, sementara bahan lainnya diusahakan sendiri oleh umat. Selama gedung gereja dibangun, umat kembali beribadat di rumah bapak B. Silalahi. Pada tahun 1978, gedung gereja berukuran 6x8 m dengan tiang persegi dan beratapkan seng selesai dibangun.
    Pada tahun 1980 gedung gereja itu direhab lagi. Gedung gereja semi permanen (setengah beton, 80 cm beton) selesai direhab dengan lantai semen, tetapi dinding gereja belum sempurna hingga pembangunan terbaru pada tahun 2010. Sampai pada tahun ini jumlah umat mencapai 10 KK.
   
Pak E. Gultom (KDPS)
Tahun 2010 gedung gereja yang baru dibangun. Selain dana dari paroki, umat juga mengumpulkan guguan Rp. 1.100.000,00/KK yang dibayar dengan mencicil. Peletakan batu pertama diadakan pada tanggal 19 Desember 2010 oleh P. Hiasintus Sinaga, OFMCap. (Pastor paroki). Para pengurus Gereja yang baru untuk periode 2011-2015 adalah: Bapak E. Gultom (KDPS), B. Silalahi (Wakil KDPS), S. Sitinjak (Bendahara), K. Marbun, T. Br. Ambarita (Seksi Asmika), T. Br. Naibaho (Seksi PIK), M. Siagian (Seksi PAK dan bangunan). Jumlah umat saat ini sudah mencapai 14 KK. Namun, menurut penuturan Bapak E. Gultom (Porhanger/KDPS periode 2007 – 2015), jumlah itu pernah mencapai 17 KK pada awal kepemimpinannya di tahun 2007. Beberapa umat merantau (manombang) ke daerah lain, namun ada juga yang pindah ke Huria tetangga (HKBP), termasuk Bapak D. Tindaon (mantan Porhanger periode 2001-2007). Bapak D. Tindaon pindah karena ada konflik terkait laporan keuangan yang tidak jelas pada Pesta Paskah Rayon Asahan yang diselenggarakan di Aek Nauli pada tahun 2008 yang lalu. Sebelumnya juga, karena masalah keluarga, P. br. Siringo-ringo (bendahara stasi pada saat kepemimpinan Bapak D. Tindaon) pindah ke HKBP.
    Umat berjumlah 14 KK dengan cacahan jiwa sekitar 72 orang. Keempat belas KK itu beserta jumlah jiwa/KK dapat disebut di sini: A. Jonatan Gultom (4 orang);A. Muti Siagian (4 orang); A. Andri Siregar (4 orang); Op. Jones Simbolon (3 orang); Op. Kamsia Hutagalung (5 orang); N. Sandi br. Siringo-ringo (3 orang); A. Tiar Marbun (7 orang)
A. Hendra Sinaga (6 orang); A. Edi Silalahi (7 orang); Op.  br. Simbolon (7 orang); Op. Surung Siringo-ringo (5 orang); Op. Tumbur Sitinjak (2 orang); A. Anti Sitinjak (8 orang); A. Buha (7 orang).



    5.  STASI ST. YOSEF SINARTOBA

Sejarah  
Stasi Sinar Toba berdiri pada tahun 1966. Umat perdana stasi  pada waktu itu berjumlah 4 kepala keluarga (KK). Sebelum gereja berdiri, umat beribadat di rumah Bapak  J. Togatorop. Seorang anak muda  bernama Martinus Eliakim Rajagukguk menjadi Pengurus Gereja yang pertama.
    Setahun kemudian (1967), umat bertambah menjadi 8 KK. Mereka mulai memikirkan pembangunan gedung gereja. Melalui proses pembicaraan dari waktu ke waktu (yang relatif cukup singkat) akhirnya  umat sepakat untuk membeli sebidang tanah pertapakan gereja seluas 14,5 x 80m.
    Pada tanggal 16 Agustus 1967 gereja darurat berdiri dengan ukuran 5 x 6 m. Atap terbuat dari lalang dengan  dinding “gedek”, sementara tiang penyokong bangunan dari kayu bulat yang sederhana. Lantai tanah menjadi tempat untuk menancapkan bangku yang terbuat dari kayu.
Pada tahun 1969, gedung gereja yang sederhana ini roboh,  karena tiupan angin kencang. Tak berselang lama sejak terjadinya peristiwa itu, umat bahu-membahu untuk mendirikan gedung baru untuk dipakai sementara waktu. Didorong oleh kondisi gereja sederhana yang semakin memprihatinkan itu, maka beberapa bulan kemudian, umat membangun gedung gereja yang lebih layak pakai. Ukuran gereja itu adalah 5 x 7m, beratap seng, dinding papan kasar, tetapi masih berlantaikan tanah.
    Dalam perjalanan waktu, jumlah umat bertambah secara perlahan, sehingga pada tahun 1969 jumlah mereka mencapai 18 kk. Ketua Dewan Stasi atau porhanger pada masa itu ialah bapak M. E. Rajagukguk. Beliau dibantu oleh 4 orang  sintua yakni,  J.Siagian, P.Nadeak, A. B. Manurung dan A. Roma Siregar.    
Dalam kurun waktu antara tahun 1970 - 1974 perkembangan  umat terasa sangat menggembirakan. Pada pertengahan tahun 1974 jumlah umat mencapai 34 kk. Akan tetapi, kegembiraan ini tidak berlangsung lama, karena pada akhir tahun 1974 banyak umat yang pindah untuk “manombang” ke Landong dan Kuala Bangka, sehingga jumlah umat tinggal 25 kk.
Enam tahun kemudian tepatnya  bulan November 1980 Bapak Martinus Eliakim Rajagukguk (KDS) meninggal dunia. Hal itu mempengaruhi kinerja para pengurus yang lain. Beliau digantikan oleh Bapak J. Situmorang.
Pada tahun 1982, berkat usaha dari Pastor Hubertus Tamba, OFMCap. (Pastor Paroki) bersama pastor P. Ignatius Simbolon, OFMCap.,  gereja  Katolik Stasi Sinar Toba memperoleh bantuan dari Bimas Katolik Propinsi Sumatera Utara sebesar  Rp 1.250.000. Maka, pada tahun 1983 gereja semi-permanen dibangun, dengan ukuran 5x8 m. Dinding gereja bagian depan sudah terbuat dari beton, sementara bagian belakang masih terbuat dari papan. Menara sederhana juga dibangun. Pada saat pembangunan ini, jumlah umat ada 23 kk. Gereja Stasi Sinar Toba memilih St. Yosef sebagai pelindung. Sebagaimana dihimbau pihak paroki, supaya setiap stasi membuat perayaan Pesta Pelindung, stasi Sinar Toba berencana untuk merayakannya secara rutin.
Maju mundurnya stasi ini ditentukan oleh tanggung jawab dan pelayanan para pengurus awam di stasi. Maka seraya mengenang dan menghormati mereka pantaslah nama mereka disebutkan dalam sejarah perjalanan stasi ini.  Dari periode atau masa bakti yang satu ke masa bakti berikut kami coba paparkan sebagai berikut:
Tahun 1966-1980:  Porhanger, Martinus Eliakim Rajagukguk dibantu oleh para sintua  J. Siagian, A. B.  Manurung, R. Manik, P. Nadek, J. Situmorang, A. Roma Siregar.   Tahun 1980-1996: Porhanger, J. Situmorang dibantu oleh para sintua D. Sitinjak (wakil), C. Nainggolan  (Sekretaris I), Ibu br. Siahaan (Sekretaris II), R. Manik (Bendahara),  A. B Manurung (Ketua Seksi Bangunan), J. Siagian, J. Naibaho, M. Ambarita, R. Sigiro. Tahun 1996-2002: Porhanger, D. Sitinjak dibantu oleh para sintua M. Ambarita (Wakil),  J. Situmorang    (Bendahara), M. Manik, S. Sihotang, H. Sinaga, P. Hutapea (masing-masing sebagai anggota).  Periode 2003 – 2006 dipimpin oleh M. Ambarita dan dibantu oleh anggota: D. Sitinjak, H. Sinaga, A. Siagian dan N. Br. Tanggang. Masa bakti 2007- 2010 kembali lagi dipimpin oleh D. Sitinjak dengan anggota F. Br. Nadeak, A. Siagian, S. Br. Hotang, H. Br. Sinaga, M. Ambarita, N. Br. Tanggang, N. Br. Rajagukguk, B. Hasibuan      Masa bakti 2010-2015 : Ketua Dewan Pastoral Stasi ialah D. Sitinjak dan dibantu oleh para pengurus lain yakni: F. Br. Nadeak, A. Siagian, S. Br. Hotang, H. Br. Sinaga, M. Ambarita, N. Br. Tanggang, N. Br. Rajagukguk, B. Hasibuan dan  W. Silalahi.
Jarak stasi ini dengan paroki tergolong dekat. Dalam waktu 20 menit dari pusat paroki, stasi ini sudah dapat dijangkau. Akan tetapi sering stasi ini “terlangkahi” karena fokus perhatian tim pastoral dan DPP cenderung mengunjungi stasi yang jauh. Akibatnya, dalam banyak hal stasi ini tertinggal dari stasi-stasi yang lain. Untuk mengejar ketertinggalan ini, tim pastoral mencoba memberi perhatian yang lebih dengan membuat sermon-sermon khusus hanya untuk stasi ini terutama para pengurus yang sekarang. Semoga doa St. Yosef menyertai perkembangan stasi ini untuk semakin baik. Salam.

                                                       
6. STASI ST. YOHANES PEMBAPTIS TANGKAHAN MANGGIS
Sejarah 

Pada tahun 1976, arus perantau dari Tapanuli khususnya Samosir dan daerah Humbang Hasundutan cukup deras mengalir ke daerah Kualuh. Kedatangan mereka ke daerah Kualuh adalah untuk mengadu nasib, karena daerah Kualuh masih tergolong subur dan masih banyak lahan tak bertuan.
Menuju Stasi Tangkahan Manggis
      Para perantau yang datang dari “Bonapasogit” ke Tangkahan Manggis, umumnya sudah menganut agama Kristen terutama HKBP. Sedangkan agama Kristen lainnya seperti GKPI sebagai mayoritas kedua. Sekte-sekte protestan lainnya juga ada pada awalnya, yakni Pentakosta dan Advent. Bagaimana dengan Katolik? Orang-orang Katolik hanya dua keluarga,  yakni Keluarga Pak Melody Sitinjak dan Keluarga Pak Berliana Sinaga. Mereka  adalah kelompok yang paling kecil.
Gereja Lama
Pada awalnya, kedua keluarga ini harus pergi ke Tangkahan Silalahi untuk mengikuti ibadat hari Minggu atau misa saat imam datang.  Setiap kali beribadat ke Tangkahan Silalahi, mereka harus memakai alat transportasi sampan menyusuri Sungai Aekkuo dengan jarak tempuh lebih dari satu jam.
                Pada tahun 1983 umat Katolik yang tinggal di Tangkahan Manggis bertambah dua KK, yaitu Keluarga Pak Horas Banjarnahor dan keluarga Pak Eriska Nainggolan. Pertambahan ini tentu menambah semangat baru bagi umat. Ketika periodisasi pengurus di Tangkahan Silalahi, Pak Melody Sitinjak terpilih menjadi pengurus gereja (sintua). Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1985, keluarga katolik bertambah lagi sebanyak tiga KK, yakni  keluarga Pak A. Nadeak, Pak Virman Nababan dan Pak  Sampe Malau.  Pada hari Minggu mereka berjalan kaki  menerobos jalan setapak yang masih rawa menuju tepi sungai untuk selanjutnya naik sampan menuju Tangkahan  Silalahi. Pada kesempatan inilah mereka menceritakan rencana-rencana ke depan, bagaimana mereka bisa membentuk stasi dan memikirkan pendirian gereja ala kadarnya.
                Suatu ketika, saat menuju Tangkahan Silalahi untuk mengikuti ibadat, di tengah perjalanan sampan mereka karam. Baju mereka basah kuyup, buku ende juga terendam dan terpaksa mereka pulang ke Tangkahan Manggis dari tengah perjalanan.  Peristiwa ini  sangat berkesan bagi mereka, dan selalu mereka ceritakan kepada pastor atau suster yang berkunjung ke sana. Peristiwa karamnya sampan ini rupanya cukup membuat para ibu-ibu trauma sehingga sejak peristiwa itu kaum hawa hampir tidak pernah lagi ikut beribadat ke Tangkahan Silalahi. Kejadian yang sangat berkesan ini menjadi pemantik semangat mereka untuk semakin serius ke arah pembangunan gereja mereka sendiri di Tangkahan Manggis.
               
Niat mereka untuk membangun gereja Katolik ini diinformasikan kepada saudara-saudari seiman di Tangkahan Silalahi.  Walau merasa berat, umat di Tangkahan Silalahi merelakan dan mendukung niat ini sambil memberi nasihat agar semangat mereka tidak pudar. Mereka mengatakan “Unang sada so sada, dua so dua, sada pe so saut, gabe sude angka lua”. Sebab memang gereja di Tangkahan Silalahi juga masih butuh dukungan umat yang lebih banyak.
Akan tetapi umat Tangkahan Manggis sudah bulat dengan keputusan mereka. Maka, pada tanggal 10 Februari 1988, umat Katolik Tangkahan Manggis mengadakan rapat perdana dan sampai pada keputusan untuk membangun gereja. Kekompakan mereka sangat terpuji dan semua bersemangat untuk membangun gereja baru. Pada tanggal 27 Maret 1988 mereka kembali mengadakan rapat untuk semakin memadukan hati, tenaga dan pikiran demi perwujudan tekad bulat mereka dalam membangun gereja baru.
Dalam rapat yang kedua ini (di rumah Pak Virman Nababan), karena alasan ekonomi tiga dari tujuh KK memilih untuk tinggal di Tangkahan Silalahi. Ketiga Kepala Keluarga itu adalah Keluarga Pak Berliana Sinaga, Keluarga Pak Horas Banjarnahor dan Keluarga Pak Sampe Malau. Akan tetapi, dalam rapat yang sama sebanyak sembilan kepala keluarga sebagai pendatang baru ikut serta memberikan dukungan. Kesembilan KK tersebut ialah:  Kel. Pak Lupok Silalahi, Kel. Pak Rista Batuara, Kel. Pak Butet Habeahan, Kel. Pak Canro Harianja, Kel. Op. Valto Malau, Kel. Op. Rama Nadeak, Kel. Pak Ronald Sinaga, Kel. Pak Rista Gultom dan Kel. Op. Hertua Tindaon. Keputusan rapat ini ada dua, yakni:  Pengangkatan panitia inti pembangunan (Op. Valto Malau  (Ketua), Op. Rama Nadeak (Wakil), Pak Lupok Silalahi (Sekretaris), Pak Virman Nababan (Penasehat)) dan Menyepakati besarnya iuran, yakni Rp 30.000/KK sebagai modal awal untuk membeli pertapakan gereja.  
                Pada tanggal 9 April 1988 diadakan rapat ketiga di rumah Pak  Melody Sitinjak. Semua umat hadir dan hasil rapat adalah: (1) Pengumpulan kayu bahan bangunan yang sudah selesai di-chain saw; (2) Pada saat kunjungan pastor, hendaknya ditetapkan bahwa umat katolik yang tinggal di Tangkahan Manggis resmi menjadi salah satu stasi di Paroki Santo Pius X-Aekkanopan ; (3) Menunjuk dua orang untuk mengikuti sermon ke sungai Apung.
Pada tanggal 18-19 Mei 1988 sermon di Sungai Apung diikuti oleh Pak  Melodi Sitinjak dan Pak Anggiat Nadeak.  Topik  sermon adalah “Gereja Mandiri”, dipimpin oleh Pastor Simon Sinaga, OFMCap. dan Suster Theodora Situmorang, KYM. Atas anjuran Sr. Theodora Situmorang, KYM, selesai sermon, kedua bapak di atas ikut bersama pastor ke Aekkanopan untuk lebih serius membulatkan tekad mereka dalam membangun gereja dan stasi baru di Tangkahan Manggis.
Gereja Baru
Dalam perjalanan menuju Aekkanopan,  mereka diguyur hujan di daerah Pancasila. Hujan reda pukul 16.00 WIB dan kembali melanjutkan perjalanan menuju Aekkanopan. Di  Teluk Binje mereka tiba pukul 18.00 WIB.  Sekitar pukul  21.00 WIB  mereka mengadakan pertemuan dengan pastor Simon Sinaga, OFMCap dan Pastor Yakobus OFMCap. Pastor Yakobus kurang setuju dengan rencana tersebut. Sedangkan Pastor Simon belum bisa memberikan keputusan malam itu dan besok pagi baru akan dijawabnya. Pada tgl 20 Mei 1988 pukul 08.00 WIB,  Pastor Simon, OFMCap. memberi jawaban bahwa  pada tanggal  25 Mei 1988 kepastian akan ditetapkan saat kunjungan  Pastor Yakobus OFMCap di Tangkahan Silalahi.
Bersama dengan ketua Rayon Kualuh,  Gr. Simbolon,  pada tanggal 24 Mei 1988, P. Yakobus, OFMCap datang berkunjung ke Tangkahan Silalahi. Utusan dari Tangkahan Manggis datang juga ke Tangkahan Silalahi yakni Pak Melodi, Pak Anggiat dan Op. Valto.   Mereka berterima kasih atas kebersamaan selama ini dengan umat di Tangkahan Silalahi seraya minta pamit untuk selanjutnya hendak beribadat di Tangkahan Manggis. Pastor Yakobus, OFMCap memberi jawaban yang sesuai dengan harapan umat Tangkahan Manggis dan memberi ijin “manjae”. Pastor tersebut memberi penegasan bahwa kesatuan gereja Katolik di mana pun harus dinomorsatukan sebab itulah ciri dan kekuatan kita dalam Tuhan.  
Pada kesempatan ini juga pastor memberi kata-kata peneguhan dengan mengatakan umpasa: “Asa tampulak ni sibaganding ma di dolok ni pangiringan; Horas ma hamu na marhaha-maranggi; Huria Katolik Tangkahan Manggis Tangkahan Silalahi;  Jala marsipairing-iringan”  Kemudian beliau menambahkan lagi: “Bintang sidongdong ma i di dolok golgata; Horas ma huria Katolik digomgom Amanta Debata”
                Pada tanggal 25 Mei 1988, dalam Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh pastor Yakobus, OFMCap. dengan resmi dinyatakan pemekaran gereja Tangkahan Silalahi ke Tangkahan Manggis. Setelah Perayaan Ekaristi, acara ramah tamah dilanjutkan untuk mengatakan selamat jalan dan selamat tinggal.
                Empat hari kemudian, yakni tanggal 29 Mei 1988, umat Katolik Tangkahan Manggis mengadakan ibadat perdana di rumah Pak Melody Sitinjak.         Tanggal 5 Juni 1988 selesai  ibadat hari Minggu, umat mengadakan rapat (ke-4) sambil memilih pengurus gereja. Pak Melody Sitinjak (Vorhanger);  H. Nadeak (Wakil); N. Esrika Br Pakpahan (bendahara); H. Nadeak (Sekretaris); M. Gultom (Sintua); P. Tindaon (Sintua). Pertapakan gereja disumbangkan oleh keluarga Pak Melody Sitinjak dengan ukuran 20x10 m. Pada rapat ini juga diputuskan untuk mengadakan gotong-royong penimbunan pertapakan dan kerja lainya.
                Pada tanggal 25 Agustus 1988, Pastor Yakobus, OFMCap datang “marhuria” ke Tangkahan Manggis sekalian meninjau kerja umat. Umat menyambut pastor dengan gembira. Pada saat itu juga diadakan permandian dan peresmian. Enam orang yang dipermandikan adalah Sangkot Rinto Tua Sampe Parlumbanan Gultom; Lando Damsen Hobi Mardongan Gultom; Canro Harianja; Minton Parhusip; Sondang Marison Sitindaon;  Agustina Nadeak .
                Pada tanggal 23 Januari 1989, gereja Katolik Tangkahan Manggis selesai dibangun apa adanya dengan beratapkan nipa.  Bangku gereja pun belum ada sehingga umat harus duduk di lantai papan. Semangat kegotong-royongan umat sungguh dapat dipuji. Kendati  gereja belum  rampung, semangat kesatuan dan kerajinan umat beribadat pantas dipuji. Dengan kondisi gereja demikian, umat merasa bangga dan damai dalam hati untuk memuji Tuhan. Kebiasaan Katolik untuk Doa Rosario sejak dini mereka terapkan. Secara bergiliran mereka menjadi tuan rumah untuk doa Rosario.
Suatu kali, bahan-bahan bangunan yang diperuntukkan dalam merampungkan pembangunan, hilang. Dalam perjalanan waktu, sang pencuri tertangkap dan hal ini menimbulkan gejolak di dusun Tangkahan Manggis. Sempat terjadi ancam-mengancam untuk membunuh, tetapi kemudian persoalan dapat diselesaikan dengan baik.
                Semangat untuk mengembangkan umat tetap juga terbangun dalam diri para pengurus yang terpilih. Tanggal 23-29 April 1989, pengurus gereja Tangkahan Manggis mengikuti Kursus  KATEKESE di Tangkahan Habeahan. Melihat semangat umat dan para pengurus ini, P. Yakobus, OFMCap membantu dengan meminjamkan uang untuk membeli seng dan papan untuk merampungkan pembangunan gereja. Hal ini menambah semangat para pengurus dan kebanggan umat.
                Tanggal 25 November 1989, diadakan pemberkatan gereja, sekaligus melantik pengurus dan saat itu juga diadakan pembaptisan untuk beberapa umat. Suasana akrab dan sukacita sangat terasa pada pesta ini, terlebih karena semua umat makan bersama dengan pastor di gereja yang baru. Nama-nama pengurus yang dilantik oleh P. Yakobus, OFMCap adalah Pak Melodi Sitinjak (Vorhanger),  Pak  Anggiat Nadeak (Wakil),  Sintua: Pak Risma Gultom, Pak Marlina Sitindaon,   Sekretaris: Pak Anggiat Nadeak, Bendahara: Ibu Esrika br. Pakpahan; Pengurus  Jasmani:  Op. Valto Malau,  Op. Rama Nadeak, Pak  Risma Gultom, dan Pak  Virman Nababan.
                Sejak dini semangat kemandirian sudah mulai bertumbuh dalam diri umat.  Untuk memikirkan perkembangan gereja ke depan, umat sudah  bergerak untuk mengadakan pengolahan lahan 0.5 ha sebagai ladang penanaman padi. Lahan yang digunakan adalah milik Pak Virman Nababan. Pada musim panen tahun 1991, umat menghasilkan sebanyak  500 kg  padi. Hasil panen tersebut dipinjamkan kepada umat secara bergilir dengan bunga pinjaman yang berlaku di kampung sekitar.
               Semangat kemandirian di atas berjalan cukup baik beberapa tahun. Dari hasil kerja sama dan kemandirian ini mereka pelan-pelan mengumpulkan uang untuk rencana pembelian  lonceng  (50 kg) dan pembangunan menara gereja.
            Pada tanggal 12 Juni 1993, periodisasi  pengurus dan pelantikan diselenggarakan. Badan kepengurusan terdiri dari: Pak Melody Sitinjak (Ketua Dewan Stasi), Pak  Herman Sitinjak (Wakil), Ibu Elias br Gultom (Bendahara), Pak  Marlina Tindaon (Sekretaris),  dan guru ASMIKA ialah  Pak Risma Gultom.
Berkat pendampingan dan penyemangatan dari  P. Cristof  Sitompul, OFMCap., maka pada tanggal 27 Januari 1994 untuk pertama kali lonceng gereja Katolik bergaung nyaring. Hal ini sungguh memberikan kebanggaan tersendiri bagi umat di Tangkahan Manggis.
Pada tanggal 15 Oktober 1996 periodisasi  masa bakti pengurus berikutnya diselenggarakan sekaligus pelantikannya. Mereka yang dipilih dan dilantik ialah: Pak Hermian Simbolon (Ketua Dewan Stasi), Pak Lamria Sitinjak (Wakil Ketua), Pak Lupok Silalahi (Sekretaris), Ibu Elias Br. Gultom (Bendahara), Pengurus Lingkungan: Pak Santo Gultom dan Pak Rotua Rumapea; Anggota: Pak Virman Nababan, Penasihat/Pembina: Pak Melody Sitinjak. Sejak tahun 1996 -2002, jumlah umat terdiri dari 28 KK. (Cerita proses pembangunan gereja baru masih dalam pengeditan)


7.  STASI ST. MATIAS SIMPANG EMPAT

               Sejarah
 Pada tahun 1970 desa Kuala Beringin mulai dibuka dan dijadikan perkampungan oleh para panombang. Di antara para panombang ini terdapat beberapa keluarga Katolik sepertti: Op. Mariani Sitorus, Bapak Manurung bersaudara (abang-adik), A. Derman Sinaga, dan bapak E. Tampubolon. Mereka saling bertemu dan berkenalan di ladang yang baru mereka buka. Pada awalnya mereka masih tinggal di pondok-pondok kecil di tengah ladang. Dalam pertemuan dan pembicaraan mereka terbersitlah keinginan untuk mengadakan perkumpulan doa. Mereka berencana untuk mengadakan doa bersama di pondok-pondok agar kehidupan rohani mereka tetap terpelihara dengan baik. Akhirnya perkumpulan doa itu pun mulai berjalan secara bergiliran dari pondok ke pondok.
    Setelah dua tahun berjalan (1970-1972), mereka kemudian memikirkan untuk membentuk suatu perkampungan. Mereka sepakat untuk membeli pertapakan rumah di Sikopi-kopi dan membangun rumah masing-masing berdekatan dengan yang lain. Akhirnya peribadatan juga berpindah dari pondok-pondok ke rumah bapak E. Tampu Bolon. Peribadatan itu dipimpin oleh Op. Mariani Sitorus. Pada saat itu umat Katolik yang ada di Simpang Empat berjumlah 5 KK.
Pada tahun 1974 jumlah umat Katolik bertambah menjadi 7 KK. Mereka mulai berpikir untuk membangun gereja. Akan tetapi karena pertapakan belum ada dan dana juga tidak mencukupi, maka niat tersebut tidak bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Keinginan untuk membangun gereja mendapat titik terang pada tahun 1976. Bapak L. Napitupulu, seorang umat Katolik di stasi Tapian Nauli, memiliki tanah di sekitar Sikopi-kopi. Beliau bersedia membantu umat Katolik di Simpang Empat dengan menyumbangkan tanah seluas 1 rante menjadi pertapakan gereja. Pada saat itu kepemimpinan di stasi Simpang Empat dipegang oleh bapak A. Derman Sinaga. Dengan kepemimpinannya, A. Derman menggerakkan seluruh umat untuk bahu-membahu membangun gereja sederhana. Maka berdirilah gereja sederhana, berdinding papan (sayungan) dan masih beralaskan tanah. Namun demikian umat merasa bangga, karena mereka sudah bisa beribadat di gereja, yang merupakan hasil kerja keras mereka sendiri.
Kepemimpinan A. Derman di Simpang Empat tidak berlangsung lama. Demi meningkatkan taraf hidup dan mencari tantangan baru, beliau pindah ke Sidalu-dalu. Posisinya sebagai Ketua di Stasi Simpang Empat dilanjutkan oleh bapak E. Tampubolon. Bapak E. Tampubolon akhirya diangkat secara resmi menjadi Porhanger periode 1979-1984, pada periodisasi pengurus tahun 1979. Pada masa itu Umat Katolik di Stasi Simpang Empat berkembang cukup pesat. Pada masa kepemimpinan bapak E. Tampubolon jumlah umat sudah mencapai 18 KK. Dengan jumlah sebanyak ini, gedung gereja darurat yang baru dibangun tidak mampu lagi menampung seluruh umat. Oleh karena itu seluruh umat sepakat untuk merehab gereja, sehingga lebih layak pakai dan layak tampung. Para Pengurus Gereja menggerakkan umat untuk memberi sumbangan sedaya mampu mereka agar perehaban gereja tersebut dapat terlaksana. Mereka tidak berani membuat patokan iuran per-KK, karena pendapatan umat masih cukup rendah. Uang yang terkumpul dari hasil sumbangan sukarela ini sebesar Rp. 3.000.000,oo. Bapak E. Tampubolon (Porhanger) melaporkan usaha mereka kepada Pastor Paroki.
Pada periodisasi tahun 1984, tongkat estafet kepemimpinan beralih dari bapak E. Tampubolon kepada A. Bona Lubis, untuk masa jabatan selama  5 tahun (1984-1989). Atas kesepakatan umat, pertapakan gereja ditambah dengan membeli tanah bapak L. Napitupulu seluas 1 rante. Pada masa kepemimpin A. Bona Lubis periode berikutnya (1989-1994) gedung gereja diperbesar, meskipun gereja tersebut masih tetap sederhana.
Pada periodisasi tahun 1994 tampuk kepemimpinan stasi Simpang Empat dipegang oleh bapak S. Tampubolon (A. Mangiring). Pada masa kepemimpinannya banyak umat yang pindah (manombang) ke daerah lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi arus perpindahan sebanding dengan jumlah umat yang bertambah, sehingga jumlah umat di stasi Simpang Empat tetap berjumlah 18 KK.
Masa kepemimpinan bapak S. Tampubolon berlangsung selama 2 periode, yakni 1994-1999 dan 1999-2001. Pada periodisasi tahun 2001, beliau digantikan oleh bapak R. Panjaitan. Sebenarnya bapak ini baru 3 tahun menjadi anggota di Stasi Simpang Empat, karena beliau baru pindah dari Stasi Kampung Baru tahun 1999. Akan tetapi karena beliau cukup aktif di gereja, maka umat sepakat untuk memilihnya menjadi KDPS. Beliau masih tetap menjalankan tugas kepemimpinannya hingga saat ini. Pada saat ini umat Katolik di Stasi St. Matias, Kampung Baru berjumlah 20 KK.  





8.  STASI ST. MARIA RATU ROSARI, TELUK AMPEAN

Pada tahun 1973 panombang dari daerah Tapanuli datang ke Teluk Ampean, untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka berjumlah ±5 KK. Setelah mereka mulai menggarap lahan dan membuat perkampungan, timbul niat dari para panombang ini untuk mendirikan gereja Katolik. Niat ini dirembukkan bersama dan mereka sepakat untuk mendirikan gereja darurat asalkan kebutuhan rohani dapat terpenuhi. Gereja darurat ini berdiri tahun 1974 dengan ukuran 5 x 8 meter, atap terbuat dari rumbia, dinding dari bambu dan bahan lainnya kayu bulat. Semua bahan bangunan ini diupayakan secara gotong royong. Susunan Pengurus Gereja yang pertama sebagai berikut: A. Saut Simbolon (Porhanger), A. Akner Simbolon (Sekretaris), A. Berta Marbun (Bendahara). Pada masa awal ini umat berjumlah 8 KK. Pastor pertama yang berkunjung dan melayani stasi ini adalah P. Arie Van Diemen, OFMCap. Selama masa-masa awal ini, Ibadat Sabda masih sangat sederhana, karena belum ada aturan liturgi yang jelas. Namun demikian buahnya sungguh dapat dirasakan oleh umat. Kegiatan berkumpul dan berdoa bersama menambah kekompakan di antara umat. Bahkan mereka sudah mengadakan doa lingkungan pada waktu-waktu tertentu. Selain itu, kaum Ibu sudah mulai membentuk kelompok koor (PIK).  
Gereja Lama
Seiring berjalannya waktu, jumlah panombang ke Teluk Ampean juga semakin bertambah, dan di antara mereka ada yang beragama Katolik. Pertambahan ini membuat gedung gereja yang ada tidak memadai lagi untuk menampung seluruh umat. Untuk mengatasi hal tersebut, Op. Eko Simbolon mengajak umat berkumpul untuk membicarakan rencana pembangunan gereja yang baru. P. Arie van Diemen, OFMCap. turut hadir dalam rapat tersebut. Hasil pertemuan tersebut adalah bahwa pembangunan gereja diadakan dengan bergotong royong. Sebagai bentuk dukungan, Paroki memberi bantuan berupa Seng dan Paku. Dengan semangat yang tinggi umat bergotong royong, mengumpulkan kayu, menggergaji, membawa ke pertapakan gereja dan membawakan makanan-minuman untuk mereka yang bekerja. Orang-orang yang sangat berperan dalam pembangunan ini: Op. Eko Simbolon, Op. Mikael Marbun, Op. Rohotly Sihotang dan Op. Grace Simbolon. Berkat dorongan mereka umat merasakan kebersamaan dan semangat dalam membangun. Akhirnya gereja selesai dibangun pada tahun 1984, dengan ukuran 7x9 M. Ketua Dewan Stasi saat itu masih Op. Eko Simbolon (A. Saut) dan umat berjumlah 24 KK.
Gedung gereja yang baru membawa semangat yang baru pula dalam hidup menggereja stasi Teluk Ampean. Di samping itu tata cara Peribadatan sudah semakin jelas dan teratur. Seluruh umat dapat mengikuti Ibadat Sabda pada hari Minggu dengan penuh hikmat. Mereka sungguh menjalankan ajaran Yesus: ”Pergilah ke seluruh dunia, dan wartakanlah Injil.” Mereka telah merasakan buah dari hidup rohani mereka, maka mereka mulai berbagi ke daerah sekitar untuk membangkitkan semangat menggereja. Beberapa daerah yang pantas disebut sebagai daerah pewartaan dari para tokoh umat di Teluk Ampean antara lain: Sei Peranginan, Sei Piandang, Teluk Binjei dan Pancasila. Ke daerah-daerah tersebut, mereka mengadakan kunjungan, berdoa bersama, membawakan koor dan berbagi pengalaman.
Pada tahun 1985 jabatan kepemimpinan (Porhanger) beralih ke tangan A. Akner Simbolon. Beliau dibantu oleh A. Saut Simbolon (Wakil), A. Bertha Marbun (Sekretaris), A. Dormian Sihotang (Bendahara), dan tiga orang anggota (sintua) yakni: A. Lastina Sinaga, A. Budi Sihotang dan A. Kari Tarihoran. Selama masa kepengurusan mereka semangat hidup menggereja masih tetap dapat dibanggakan. Jumlah umat semakin banyak. Demikian halnya dengan anggota koor, dan lagu-lagunya semakin bervariasi. Pada masa ini kelompok ASMIKA sudah terbentuk. Mereka dibina dengan baik oleh A. Akner Simbolon. Pada masa itu, mereka bisa meraih juara I pada Festival di Paroki.
Periodisasi Pengurus berlangsung pada tahun 1991. Pada saat itu tugas pelayanan sebagai Porhanger diemban oleh Op. Tio Tarihoran, dibantu oleh Op. Rohotly Sihotang (Wakil), A. Bertha Marbun (Sekretaris) dan A. Akner Simbolon (Bendahara). Mereka melayani stasi Teluk Ampean sampai tahun 1994. Pada periode ini kehidupan menggereja di stasi Teluk Ampean mulai mengalami goncangan. Hal ini terutama disebabkan oleh keadaan perekonomian yang semakin merosot. Bencana Banjir, Tikus dan Hama Wereng berturut-turut menghabiskan tanaman padi di sawah. Umat semakin malas ke gereja. Mereka sibuk memikirkan keadaan pertanian yang tidak lagi memberi jaminan hidup. Namun Allah tak pernah meninggalkan umat-Nya. Dalam keadaan putus asa dan tanpa harapan ini, muncullah kelompok MUDIKA. Kelompok ini mampu menghibur umat dan membangkitkan kembali gairah hidup umat dengan menampilkan pertunjukan drama. Mereka dilatih oleh Op. Tio Tarihoran. Dengan ciri khasnya yang periang, penuh canda dan kocak, beliau mampu menganimasi MUDIKA dan memberi hiburan yang menarik kepada umat, di tengah situasi yang cukup berat.
Pada periodisasi tahun 1994, tampuk kepemimpinan stasi beralih ke tangan Op. Rohotly Sihotang, dibantu oleh Op. Jutri Sihotang (Wakil), Op. Kari Tarihoran (Sekretaris), A. Bertha Marbun (Bendahara) dan dua orang anggota yakni A. Reli Simbolon dan Op. Asep Simbolon. Pada periode, umat Teluk Ampean mempunyai harapan baru akan perbaikan ekonomi dengan peralihan dari pertanian padi ke tanaman keras (Karet dan Sawit).
Pada periode 2000-2003 jabatan Ketua Dewan Stasi dipangku oleh Op. Jutri Sihotang (Goinrat Sihotang), dibantu oleh A. Reli Simbolon (Bilman Simbolon) sebagai Sekretaris dan Op. Rohotli Sihotang (Jakorban Sihotang) sebagai Sekretaris. Pada masa ini Op Rohotly Sihotang dan A. Asima Simbolom mengusulkan agar stasi membeli ladang dan mengusahainya. Hasilnya akan digunakan untuk membantu kas stasi dan mempersiapkan dana pembangunan gereja di kemudian hari. Namun hal itu belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Gagasan baru muncul lagi dari Op. Rohotly Sihotang dan Nelson Simanjuntak (A. Rida) untuk membeli genset, sebagai inventaris gereja untuk penerangan gereja, kampung dan rumah-rumah. Para pemakai genset ini menjadi anggota Koperasi, memberi iuran per-bulan. Akan tetapi hasilnya tidak hanya cukup untuk biaya perawatan, bahkan sanggup untuk menambah kas stasi.
Pada periodisasi tahun 2003 Jawalen Simbolon menjadi Ketua Dewan Stasi, dibantu oleh Elison Sinaga (Sekretaris) dan Nelson Simanjuntak (Bendahara). Pada masa kepengurusan mereka rencana untuk membeli ladang direalisasikan. Mereka membeli ladang PSE Paroki yang ada di Teluk Ampean seluas 2 ha, dengan harga Rp. 5.750.000,oo. Sesuai rencana awal tanah ini dibeli sebagai persiapan untuk pembangunan gereja. Jika nanti ternyata bahwa stasi kekurangan dana pembangunan, maka tanah tersebut akan dijual untuk menambah dana pembangunan. Segera setelah dibeli, tanah tersebut langsung ditanami sawit. Pengolahan lahan diatur oleh stasi dan hasilnya diperuntukkan untuk menambah kas stasi. Dengan ini tampaknya umat stasi Teluk Ampean telah membulatkan tekad untuk segera mengadakan pembangunan gereja. Akan tetapi niat tersebut belum bisa segera terealisasi, karena hasil dari kebun Sawit tersebut belum mencukupi. Sehingga keinginan tersebut sempat hampir hilang.
Gambar Bunda Maria Ratu Rosario dan Yesus Andalanku
Akan tetapi kondisi bangunan gereja yang sudah mulai lapuk dimakan usia menimbulkan keprihatinan bagi orang yang melihatnya. Hal itulah yang pertama sekali dirasakan oleh P. Hiasintus Sinaga, OFMCap, ketika pertama kali berkunjung ke stasi ini untuk meneguhkan perkawinan Juner Sinaga. Beliau cukup prihatin dengan kondisi gereja. Oleh karena itu, beliau mengusulkan agar diadakan sekali kolekte untuk membantu pembnagunan gereja pada waktu acara peneguhan perkawinan tersebut. Umat Katolik Teluk Ampean merasa malu dengan kejadian tersebut dan tertantang, karena umat yang hadir dalam acara tersebut bukan hanya Katolik. Namun mereka mengambil sisi positifnya. Kejadian itu mendorong para Pengurus, yang saat itu dipangku oleh Marianus Situmorang (KDPS), Minar Simbolon (Op. Rianto) dan A. Rida Simanjuntak, untuk semakin giat menggerakkan umat agar semangat membangun yang sempat tenggelam muncul kembali. Berbagai cara dilakukan umat untuk mengumpulkan dana, mulai dari tabungan per-KK, maupun bentuk lain. Tahun 2006 dimulailah pengumpulan dana pembangunan. Panitia pembangunanpun dibentuk yaitu: Op. Jutri Sihotang dan A. Lamtiur Situmorang sebagai Penasehat, Op. Rohotly Sihotang (Ketua), Marlun Sihotang (Sekretaris), A. Rida Simanjuntak (Bendahara). Untuk mempercepat proses pembangunan, diadakanlah guguan per-KK. Setelah itu diadakan tabungan pembangunan di tiap rumah tangga, juga partisipasi dari orang yang merasa terpanggil untuk membantu pembangunan.

Gereja  Baru Tampak Depan Dari Jalan Utama
Puncak dari semangat umat untuk membangun terjadi pada periode kepengurusan Marianus Situmorang (KDPS), Marlun Sihotang (Sekretaris), dan Nelson Simanjuntak (Bendahara). Mereka terpilih pada periodisasi tahun 2010 dan akan memegang tugas pelayanan tersebut sampai tahun 2015. Mereka dan para Pengurus yang lain, bersama tokoh umat bahu membahu untuk mengusahakan agar pembangunan gereja dapat segera direalisasikan. Karena terjalin komunikasi yang baik dengan pihak paroki, maka pada tanggal 16 September 2011, diadakanlan peletakan Batu I Gereja Teluk Ampean. Meskipun peletakan batu I telah berlangsung, namun masih muncul keraguan di antara umat akan suksesnya pembangunan tersebut. Stasi Teluk Ampean hanya memiliki modal sebesar Rp. 63.000.00063.000.000,oo. Sementara taksasi biaya pembangunan berkisar Rp. 363.000.000363.000.000,oo. Fakta ini tidak menyurutkan nyali mereka. Panitia Pembangunan bersama seluruh umat dengan gigih mengusahakan cara untuk mengumpulkan dana ini, termasuk dengan memohonkan bantuan. Usaha mereka tidaklah sia-sia. Gereja tersebut akhirnya selesai dibangun, dan Bapa Uskup, Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap. memberkati gereja tersebut pada tanggal 03 Juni 2012. Gereja tersebut didedikasikan kepada St. Maria Ratu Rosario.
Tampak Dari Halaman
Stasi Teluk Ampean merupakan salah satu stasi yang terkenal dengan kesatuan dan kekompakan umatnya. Hal ini menjadi contoh yang pantas ditiru oleh stasi-stasi yang lain. Mungkin atas dasar itu Rayon Kuluh memilih salah satu anggota stasi ini menjadi pengurus rayon (Sekretaris), yakni bapak Nelson Simanjuntak (A. Rida). Beliau juga terlibat di Paroki sebagai anggota DPP (Seksi Pembangunan Paroki). Semoga semangat kesatuan dan kebersamaan tetap menjiwai umat stasi St. Maria Ratu Rosario, Teluk Ampean dan mereka dapat menjadi garam dan terang di Paroki St. Pius X Aekkanopan.




 Interior  Gereja Baru








9.  STASI SANTO YUSTINUS HUTABARU

Sejarah
Pada tanggal 1 Januari 1969, gereja katolik di Hutabaru memulai langkah awal perjalanan sejarahnya. Pada saat, di kampung Hutabaru terdapat beberapa orang katolik sebagai pendatang dari daerah Tapanuli. Kemudian mereka mengadakan perkumpulan. Dalam perkumpulan itu selalu diawali dengan ibadat. Sebelumnya mereka sudah biasa mengadakan peribadatan dari kampung halaman sebelumnya di daerah asal (Tapanuli).
    Rumah keluarga Bapak Guntar Manurung hampir selalu dipakai untuk pertemuan mereka. Pemimpin perkumpulkan sekaligus pemimpin ibadat ditangani oleh Bapak Pengadilan Sihombing. Jumlah kelompok pertama ini ada 9 KK, ditambah 3 orang pemuda.
    Kemudian perkumpulan ibadat digilir dari rumah umat yang satu ke rumah yang lain berlangsung selama 1 tahun. Setiap kali mengadakan perkumpulan, pembicaraan tentang pembangunan gereja selalu menjadi topik yang hangat. Hasil pembicaraan yang satu ke pembicaraan berikut adalah sebuah rencana serius untuk mendirikan gereja sangat sederhana.
Gereja Lama
    Tahun 1970 gereja kecil sangat sederhana akhirnya berdiri. Dinding bangunan terbuat dari gedek (anyaman kayu sejenis bamboo) dan beratap ilalang. Akan tetapi umur gereja kecil ini tidak bertahan lama. Pada tahun ini juga terjadi angin puting beliung di daerah Hutabaru dan dengan sekejap mata merobohkan gereja mungil sangat sederhana itu.
    Robohnya gereja tidak menyurutkan semangat umat. Justru keadaan ini memperkuat kerjasama diantara mereka. Akhirnya pada tahun 1971, dengan semboyan “Dos ni roha do mula ni hadedenggan”, (jiwa kebersamaan adalah awal kebaikan bersama) mereka saling membahu membangun gereja baru. Gereja baru ini sedikit lebih kuat dan lebih besar dari pada yang pertama.
    Kenangan indah masih segar terukir dalam hati umat sekarang dimana mereka sangat merasakan persaudaraan yang penuh kasih kekeluargaan pada awal mula pendirian Gereja Katolik. Semua umat, mulai dari anak-anak sampai orang tua turut serta dalam proses pembangunan. Baik pemikiran, waktu dan tenaga serta materi mereka sumbangkan dengan senang hati dari ketulusan hati. Orang – orang muda dan keluarga muda mengangkut bahan bangunan seperti kayu dari hutan ke lokasi pembangunan. Pengangkutan bahan bangunan masih dengan tenaga manusia, karena kenderaan bermotor belum bisa masuk ke daerah Hutabaru karena kondisi jalan yang tidak mendukung. Para orangtua semangat menyemangati dan saling mendukung untuk membuat yang terbaik demi terbangunnya sebuah gereja.  Anak – anak juga memberi tenaga sesuai dengan kepatutannya. Para wanita mempersiapkan makanan dan minuman bersama.
    Masa pembangunan awal sungguh merupakan masa perjuangan yang hebat bagi umat stasi Hutabaru namun sangat mengesankan. Melihat perjuangan dan kerja keras umat yang begitu besar, dan indahnya kebersamaan yang ada maka Bapak Samkao dari Aekkanopan sangat terkesan. Ungkapan keterkesanan beliau adalah sumbangan sejumlah uang (tidak ingat lagi berapa jumlahnya waktu itu). Akhirnya berdirilah gereja stasi Hutabaru dengan ukuran 7 x 9 m, dinding dari papan dan beratap seng.
    Perbaikan gereja berimbas positif pada pertambahan jumlah umat. Akan tetapi karena jarak tempuh yang cukup jauh dan kondisi jalan yang tidak mendukung keluarga-keluarga katolik di Sei Naetek dan Rambong Merah memilih untuk memisahkan diri dan beribadat di daerah mereka masing-masing. Maka pada tahun 1975 terbentuklah 3 stasi, yakni ; stasi Hutabaru, Sei Naetek, dan Rambong Merah.
    Pada tahun 1976 umat stasi Huta Baru berjumlah 25 KK. Jumlah ini meningkat lagi, sehingga pada tahun 1978 jumlah umat mencapai 30 KK. Akan tetapi, rupanya pada masa-masa awal ini alam kurang bersahabat. Pada tahun 1979, benteng Sungai Kualuh pecah dan terjadilah banjir besar yang menghancurkan padi di sawah yang sedang menguning, sehingga terjadi gagal panen. Peristiwa ini memaksa penduduk exodus dari Hutabaru, termasuk beberapa keluarga katolik. Akhirnya jumlah umat katolik berkurang. Berkurangnya jumlah umat katolik di Hutabaru juga diakibatkan oleh karena perpindahan umat mencari lahan untuk menghidupi keluarga yang lain ke tempat lain.
Tahun 1980-an merupakan moment yang sungguh memprihatinkan dalam banyak aspek kehidupan masyarakat di Hutabaru terutama keprihatinan sosial  ekonomi karena alam tidak bersahabat. Kondisi ini tentulah juga mempengaruhi secara negatif geliat hidup menggereja. Kemudian masyarakat tidak lagi hanya bertanam padi tetapi  mulai perlahan-lahan menanam sawit sebagai pengganti tanaman padi. Walau sampai tahun 1986 hasil sawit masyarakat mengalami kesulitan untuk pelemparan/pemasarannya tetapi masyarakat tetap bertanam sawit sampai hasil sawit mereka diterima di pabrik-pabrik perkebunan pemerintah.
    Sejak mulai masuknya pengusaha untuk membangun kebun sawit pada era awal tahun 1990-an sejak itu pula gaya hidup masyarakat Asahan dan Labuhan batu mulai berubah. Perlahan-lahan masyarakat semakin getol bertanam sawit karena pemasarannya sudah tidak sulit lagi. Sebegitu besarnya gerakan bertanam sawit maka pemerintah mencoba mengeremnya. Kebijakan pihak Pemkab dan DPRD Labuhanbatu untuk memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) no. 39 tahun 1998 tentang pemanfaatan dan pengaturan lahan sawah di Labuhanbatu. Peraturan daerah ini merupakan acuan untuk pembatasan terjadinya alih fungsi lahan persawahan ke perkebunan sawit.
    Perobahan gaya hidup masyarakat dari bertanam padi menjadi bertanam sawit mempengaruhi juga gaya hidup peribadatan umat. Dengan hadirnya sawit, waktu umat ke ladang semakin banyak dan tentunya menjadi lebih letih dibandingkan ketika hanya bertanam padi seturut musimnya. Kendati demikian sebagian besar umat masih tetap setia untuk mengadakan perkumpulan setiap minggu. Satu dua KK memang mulai alpa di gereja pada hari Minggu. 
    Stasi Hutabaru memiliki kebanggaan tersendiri di hadapan seluruh stasi yang ada di seantero Paroki St. Pius X Aekkanopan karena pastor pertama dari Paroki Aekkanopan berasal dari Hutabaru, yakni P. Norbert Ambarita, OFMCap. Meskipun orangtua pastor ini telah pindah ke Pematang Siantar, tetapi beliau diberangkatkan dari stasi Huta baru. Setelah ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 5 Desember 1992, P. Norbert Ambarita, OFMCap., masih mempersembahkan Misa I di stasi Hutabaru.


10.  STASI SANTO HUBERTUS PADANG MAHONDANG II
   Sejarah
Pada tahun 1963 di kecamatan Pulau Raja tepatnya di Padang Mahondang (± 12 km ke arah timur Pulau Raja), terdapat lahan kosong yang cocok dijadikan persawahan atau panombangan baru. Berita ini tersiar sampai ke pulau samosir, sehingga banyak orang Samosir datang ke Padang Mahondang dengan tujuan bertani atau manombang.   Di antara orang-orang yang merantau ini ada yang beragama katolik. Pertama-tama mereka beribadat di rumah-rumah karena gereja belum dibangun. Rumah yang biasa dipakai sebagai tempat berdoa adalah rumah Badu Lubis (alm.) dan rumah Dewan Tamba (alm.). Pemimpin perkumpulan doa ini adalah bapak A. Massius Sinaga (alm.). Bapak inilah yang bersusah payah mengumpulkan bapak-bapak untuk berkumpul. Ibu-ibu belum ada karena isteri mereka masih tinggal di Samosir. Kegiatan ibadat di rumah ini berlangsung hampir 1 tahun.
            Pada awal tahun 1964 umat mulai mendirikan gereja secara darurat, bertempat di Aek Kalubi sekarang. Gereja itu terbuat dari tiang kayu bulat, dinding dari anyaman tepas, lantai tanah, atap terbuat dari anyaman “rumbia” dan tempat duduk terbuat dari kayu bulat. Pada tahun 1965, gedung gereja ini pindah ke tempat lain yaitu di Suka Ramai (tempat gereja sekarang) yang dibeli dengan swadaya umat dari Bapak J. Haro (alm.), seorang umat Katolik, seluas 40x40 m. Perkembangan umat yang cukup pesat membuat stasi ini berniat membangun kembali gedung gereja dengan ukuran yang lebih besar. Akhirnya pada tahun 1966 gedung gereja dibangun dengan ukuran 7x10 m, tiang kayu bulat, dinding dari gedek, atap terbuat dari lalang, lantai tanah, dan tempat duduk dari kayu bulat. Vorhanger (Ketua Dewan Pastoral Stasi) pada waktu itu adalah A.Massius Sinaga.
            Dalam perjalanan waktu, secara perlahan-lahan jumlah umat semakin bertambah. Demikian juga halnya dengan kondisi gereja yang pada awalnya hanya bangunan kecil sederhana kini telah berobah menjadi bangunan yang lebih baik. Kesadaran umat tentang agama berkembang dengan subur. Sekitar tahun 1975-an, timbul niat khususnya umat yang berasal dari dusun Parsaoran untuk melangsungkan peribadatan di tempat mereka sendiri. Pertimbangannya adalah jarak tempuh dari desa Parsaoran Padang Mahondang II ke Padang Mahondang I cukup jauh. Demikian juga halnya kondisi jalan pada waktu itu belum bagus. Dilihat dari jumlah KK, daerah ini sudah memadai dimekarkan menjadi satu stasi karena umat yang berasal dari Desa Parsaoran ada lebih kurang 20 KK.
Paroki sebagai penentu kebijakan dengan gembira mendukung niat baik dari umat Parsaoran. Maka demikianlah pada tahun1980 tepatnya ketika P. H. Simbolon, menjabat sebagai porhanger, umat parsaoran lepas dari Padang Mahondang I. Sebagai Jemaat yang masih muda, untuk sementara waktu mereka beribadat di rumah-rumah setempat. Tampuk kepemimpinan stasi pertama kali dipegang oleh Op. Biher Sinaga. Hasrat untuk memiliki pertapakan gereja segera muncul, demikianlah akhirnya mereka langsung membeli sebidang tanah. Adapun ukuran tanah itu kira-kira 400 m. Di lokasi tanah yang telah mereka beli itu, akhirnya didirikan bangunan gereja yang sangat sederhana. Ukuran mula-mula adalah 7 x 5 m. Beratapkan ilalang, berdinding gedek dan berlantai tanah demikianlah bentuk gereja itu bila digambarkan.
Setiap umat pasti mendambakan bentuk gereja yang mendukung suasana peribadatan. Umat Parsaoran, telah lama berpikir demikian. Maka untuk merealisasikannya segera dibuat partisipasi dana pembangunan. Partisipasi itu mereka kumpulkan selama bertahun-tahun, hingga pada akhirnya gereja lama itu dapat di renovasi. Pada tahapan kedua ini kondisi fisik gereja sudah lebih baik, tetapi masih tergolong sangat sederhana, berlantai semen kasar dan dingding kayu kasar serta beratap seng sederhana.
Dalam perjalanan waktu kurang lebih 25 tahun gedung gereja ini semakin tua dan lapuk. Atapnya juga sudah mulai bocor dan dingging papan kasar mulai membusuk. Suasana dalam gereja semakin tak karuan karena kondisi bangunan yang tidak laik pakai ditambah lagi dengan cuaca panas yang menyengat dari atap yang sangat rendah dengan lantai atau tempat duduk umat.
Dengan demikian, sejak tahun 2000 sudah ada pembicaraan di kalangan umat untuk membangun gereja yang lebih baik. Perlahan-lahan dana dikumpulkan dari partisipasi umat stasi. Akan tetapi kesatuan dan kekompakan umat tidak sungguh mendukung pertambahan pengumpulan dana ini. Kebersamaan umat semakin tidak kondusif juga karena pengaruh permasalahan lahan dalam Ikatan Petani Pancasila di desa Padang Mahondang.
Kendati demikian, kurang lebih 2 bulan sebelum serah terima jabatan pastor paroki (28 Januari 2007) dari P. Nelson Sitanggang, OFMCap kepada P. Hiasintus Sinaga, OFMCap, sekelompok umat dan pengurus gereja datang ke paroki untuk secara resmi bermohon pembangunan gereja. Pertemuan itu dihadiri oleh P. Nelson Sitanggang dan P. Hiasintus Sinaga, OFMCap. bersama dengan beberapa DPP dan pastor rekan.
Usulan utusan umat Padang Mahondang ini kemudian ditindak lanjuti oleh DPP terutama seksi Pembangunan dan pastor paroki sehingga pada pertengahan tahun 2007 dilaksanakanlah peletakan batu pertama dengan pemborong dari Pematangsiantar atas nama kontraktor Abdi Barus. Namun sangat disayangkan karena masalah perekonomian menempa pihak pemborong, diam-diam sang pemborong kabur dan tidak dapat mempertanggung jawabkan bangunan.
Selanjutnya permasalahan ini  diusung ke Sidang Paripurna Dewan Pastoral Paroki Aekkanopan pada tanggal 30 November s/d 01 Desember 2007. Rekomendasi dari sidang paripurna ada 3 butir. Pertama, segala upaya mesti diupayakan untuk perlahan-lahan merampungkan bangunan tanpa terlalu terhalang dengan usaha pengusutan pemborong.  Kedua: Sebagai bentuk partisipasi Rp 15.000 per KK separoki terus digalakkan. Ketiga: Setiap kepala keluarga umat stasi Padang Mahondang II mesti memberi iuran minimum Rp 500.000.
Demikianlah gedung gereja ini perlahan-lahan ditangani oleh tukang dari paroki dengan semangat pelayanan. Kendati kesatuan dan kebersamaan umat di Padang Mahondang II ini tidak begitu menggembirakan, akhirnya gereja itu dirampungkan dengan baik oleh pihak paroki dan rayon serta beberapa umat stasi yang sangat  sangat tulus. Beberapa umat yang tidak bisa diajak bekerjasama tidak menjadi penghalang untuk membereskan pembangunan ini.
Dengan segala perjuangan dan pahit getirnya pengalaman yang sudah dilalui akhirnya gereja dapat dirampungkan dan berdiri cukup megah. Pada tanggal 31 November 2010 gereja ini diberkati oleh Yang Mulia Uskup Agung Medan Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap. Umat bergembira yang berjumlah 35 KK ini bersukacita dengan gereja mereka yang  baru.
Beberapa KDPS yang pernah menjabat di stasi ini adalah:
  1. Op. Biher Sinaga (1980)
  2. OP. Suheri Tamba
  3. Op. Sehat (2000)
  4. Op. Suheri Tamba (2002)
  5. Bpk. Parida Tamba (2008- sekarang).            

11.  STASI ST. KORNELIUS PULO ANGIN


  Sejarah
Gereja Katolik stasi Pulo Angin merupakan salah satu dari stasi-stasi yang ada di Rayon Pamingke. Menurut data sejarah, stasi ini berdiri pada tahun 1970. Menurut beberapa keterangan yang didapat, Gereja Katolik di Pulo Angin dirintis oleh Pak Romasi Situmorang beserta beberapa orang temannya dari Lobutua, Palipi – Samosir. Mereka ini adalah rombongan para panombang yang datang untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Dari sekian banyak para panombang yang datang, lima diantaranya adalah katolik. Mereka itu adalah: Ama. Romasi Situmorang, Bonatua Malau, Ama. Mantun Sinaga dan Ama. Roslin Sinaga.




Pada awal tahun 1972, waktu musim panen, arus panombang dari desa nawalu semakin banyak. Beberapa orang di antaranya beragama Katolik, yakni rombongan bapak J. Hasugian dari Tigalingga, J. Silaban dari Buho-T.Tinggi, P. Panjaiatan dari Raja Maligas, Ama Roslan Gultom dari Sitamiang, B. Sinambela dari Lontung/Sipira, S. Sinaga dari Tiga Dolok dan ada lagi dari tempat yang lain. Banyak dari antara mereka masih ‘mardua huta’  (dua tempat tinggal) dan waktu musim panen tiba mereka datang bersama kaum ibu.
Sebagai kelompok pendatang gelombang kedua, sangat wajarlah  mereka  untuk segera berbaur dengan kelompok yang lebih awal. Melihat bahwa ada yang beragama Katolik mereka akhirnya  atas bimbingan Roh Kudus berembuk dan membuat kesepakatan untuk membuat partangiangan (kelompok doa). Peribadatan diadakan setiap hari Minggu. Karena mereka belum memiliki gereja sebagai tempat peribadatan, untuk sementara waktu mereka melangsungkan kegiatan peribadatan di gubuk Bapak J. Hasugian. Disamping  karena letaknya strategis  gubuk ini dirasa lebih layak karena ukurannya lebih memadai dibandingkan dengan gubuk-gubuk yang lain. Gubuk atau rumah ini disebut orang “rumah tinggi”, karena memang beda tingginya dengan rumah yang lain. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan Februari 1972.
 
Sebagai perintas agama Katolik, umat setempat langsung mempercayakan tugas penggembalaan  kepada Ama. Romasi Situmorang dibantu oleh Bapak J. Silaban dan J. Hasugian. Sarana peribadatan  yang mereka pakai sangat sederhana. Haya satu Kitab Suci,  satu Buku Nyanyian (Buku Ende Toba) seuntai Rosario yang besar,  yang sengaja dibawa dari Lobutua - Palipi.
Berkat rahmat Tuhan jumlah umat pun bertambah. Dan tidak terasa masa Natal pun semakin dekat. Ini terjadi sekitar bulan September 1972. Gubuk atau rumah tidak lagi memungkinkan ditempati, maka umat  bermusyawarah untuk membangun gereja yang baru. Sesuai dengan kesepakatan, dibeli pertapakan gereja berukuran 30x70 M dengan harga Rp. 5000 (lima ribu rupiah). Gedung gereja darurat dibangun secara gotong-royong berukuran 5x7 M. Gereja itu terbuat dari kayu bulat, atap ilalang dan dinding gedek, bangku dari ‘sopetan’ atau ‘sayungan’. Pada waktu itu atap disumbangkan oleh bapak P. Panjaitan dan bapak B. Sinambela menyumbangkan minuman kopi waktu mendirikan gereja.
            Setelah gereja selesai dibangun, A. Romasi Situmorang diutus untuk melapor ke Pastor Paroki di Kisaran. Bapak ini membawa peralatan liturgi, ayat-ayat natal dan buku Aturan Mananom na Mate dari Paroki.
            Pastor yang pertama sekali ke stasi P. Angin adalah P. Schepens, OFMCap. Waktu itu jalan belum ada, “marumbal-umbal”. Pastor terpaksa digendong, satu orang di kanan dan satu orang di kiri; ada yang membawa tas (secara bergantian ) sepanjang lebih kurang 150 m. Peristiwa ini terjadi sekitar Juni 1973, sekaligus peresmian dan pelantikan pengurus gereja stasi Pulo Angin.
Pengurus yang dilantik waktu itu adalah: Ama Romasi Situmorang (Porhanger), J. Silaban (wakil porhanger), P. Panjaitan (Ketua bangunan atau kasgestur), M.T. Manalu (Sekretaris), A. Roslan Gultom (Bendahara), J. Hasugian, B. Sinambela, S. Sinaga, M. Situmorang sebagai anggota/ sintua. Jumlah umat pada waktu itu adalah 28 kk.
Pada tahun 1974, Bapak J. Hasugian dipindahkan oleh Pastor Schepens, OFMCap dan P. Arie van Diemen, OFMCap ke Panigoran untuk memimpin umat Katolik yang sudah lama ada di sana. Untuk menutupi kebutuhan keluarga bapak ini, Pastor mempekerjakannya di perkebunan Padang Halaban. Kebetulan pemilik kebun itu adalah seorang Belgia yang punya relasi khusus/dekat dengan pastor.
Dalam tempo 5 tahun gereja darurat tidak lagi sanggup untuk menampung kehadiran umat. Semakin lama-semakin banyak umat yang tambah. Melihat kondisi demikian serta atas pertimbangn dari P. Arie van Diemen, OFMCap, maka dibangunlah gereja baru yang lebih besar, semi permanen dengan ukuran 7 x 9 m. Gereja ini selesai dibangun sekitar Agustus 1978. Jumlah umat pada waktu itu kira-kira 45 KK.
Hidup menggereja umat pada waktu itu sangat menggembirakan. Setiap kali ada kegiatan kerohanian di gereja, umat sungguh memadati gereja yang ada. Baik ibu-ibu maupun bapak-bapak, mereka semua sangat antusias mengikuti peribadatan dan kelompok doa rosario. Mereka selalu kompak. Mata pencaharian utama pada waktu itu adalah bertani.  
Namun beberapa tahun kemudian semangat menggereja umat sudah mulai kendor. Umat yang pada awalnya bermata pencaharian berladang kini telah berubah ke pola industry sawit. Selain itu,  kendornya semangat umat dalam menggereja juga dipengaruhi oleh arus perpindahan. Alasan kepindahan itu karena kondisi tanah dirasa tidak lagi mendukung ke sektor prtanian. Kondisi tanah tidak lagi pas dijadikan sebagai lahan pertanian. Padi yang ditanam tidak dapat berkembang karna struktur tanahnya tidak lagi sesuai. Hal ini terjadi kira-kira tahun 1982. Penurunan jumlah umat juga semakin tajam, yang dulunya mencapai 45 KK kini tinggal 20 KK.
Tantangan yang dihadapi memang sulit. Pada umumnya orang-orang yang memilih tetap bertaahan di tempat itu karena tidak memiliki modal untuk mecari tempat tinggal yang baru. Demi menjaga kelangsungan hidup, sebagaian dari mereka akhirnya menjadi karyawan perkebunan, karena memang tanah warga yang dahulunya dimiliki itu telah dijadikan perkebunan sawit oleh pengusaha Cina. Sebagaian dari  mereka keluar masuk hutan untuk mencari kayu. Dalam situasi sulit demikian mereka tetap melakukan peribadatan kendati dari segi kualitas dan kuantitasnya sangat berkurang.
Sekitar tahun 1990, atas prakarsa P. Panjaitan penduduk di Pulo Angin mulai menggugat kembali tanah penduduk yang pernah dijual itu. Usaha ini berlangsung cukup lama, karena secara hukum tanah itu sah dimiliki oleh Ahok / Sahat Rusli (Pemilik kebun). Latar belakang penggugatan ini karena penduduk yang berdomisili di Pulo Agin tidak lagi memiliki tanah untuk diolah, padahal merekalah yang telah bersusah payah untuk membuka lahan itu sejak dari awal.
Pastor Fidelis Sihotang OFMCap, pemerhati yang benar-benar mengerti keresahan umat / masyarakat mencoba bernegoisasi dengan pemilik kebun. Kendati agak lama usaha itu nampaknya tidak sia-sia karena  kira-kira tahun 1996, sang pemilik kebun mengembalikan tanah yang telah dikelola seluas 40 ha, sesuai dengan jumlah penduduk yang berdomisili ditempat lengkap dengan seluruh data administrasinya.
 Dalam rentang waktu yang hampir bersamaan, PT Tor Ganda mulai membuka perkebunan sawit di daerah Gambangan, sebelah Utara Pulo Angin. Sebagian dari karyawannya beragama Katolik. Dengan dibukanya lahan perkebunan itu, jumlah yang beragama Katolik pun bertambah menjadi 40 KK, karena mereka beribadat di Pulo Angin. 
Hasrat untuk memiliki gereja yang baru senantiasa timbul dalam benak umat. Niat ini diwujudkan dengan mulai diadakannya pengumpulan dana pembangunan gereja seharga 1 kaleng beras / setiap tahun. Sekitar tahun 2004 atas kesepakatan bersama tahap pembangunan gereja dimulai. Peletakan batu pertama  dilaksanakan pada bulan Agustus 2004. Ukuran bangunan gereja yang direncanakan adalah 9 x19 m.


Gedung gereja baru permanen ini diresmikan  pada bulan Mei 2005 oleh Mgr. A.G.Pius Datubara OFMCap. Sejak saat itu jugalah ditetapkan bahwa pelindung dari stasi ini adalah santo Kornelius. Jumlah umat pada waktu itu sekitar 42 KK sedangkan pemugaran lokasi gereja dilakukan pada tahun 2012.
Susunan Pengurus Gereja di Pulo Angin sejak awal berdirinya adalah sebagai berikut:
1. Ama. Romasi Situmorang dari tahun 1973-1978 (pindah ke Aekkanopan); anggota-anggota adalah J. Silaban, P. Panjaitan, M. T. Manalu, Ama. Roslan Gultom, J. Hasugian, B. Sinambela, S. Sinaga, dan M. Situmorang. 2. M. T. Manalu (Pak Suryani) dari tahun 1979-1996; anggota-anggota adalah A. Roslan Gultom, S. Sinaga, M. Situmorang, dan K. br Tumorang, W. Gultom, S. Nainggolan, W. Nainggolan. 3. M. Silaban dari tahun 1997-1999; anggota-anggota adalah D. Manurung, S. br. Sembiring. M.T. Manalu, K.br. Tumorang. S. br. Ambarita. 4. M.T. Manalu (Pak Suryani) dari tahun 2000-2007; anggota-anggota adalah D. Manurung, S. br. Manurung, S. br. Sembiring. K. br Tumorang M. Silaban, S. br. Ambarita. 5. D. Manurung dari tahun 2008 – 2015; anggota-anggota adalah K. br. Situmorang, P. F. Manalu, S. br. Manurung, P. Gultom, F. Sinaga, P. br. Sitorus, dan N. Siburian, Nai Rosminar Sitorus. F.Sinaga.
Dengan segala upaya, Bapak M.T. Manalu selaku Pelaksana I Dewan Pastoral Paroki St. Pius X Aek Kanopan yang berdomisili di stasi ini, terus menerus menyemangati umat dan para pengurus untuk bangkit terus memperjuangkan penghayatan umat akan visi-misi paroki. Kesuburan hidup rohani adalah jiwa kebersamaan dan kemandirian. Untuk itu  Beliau bersama para pengurus tetap mengupayakan penyemangatan kepada umat dengan melakukan kegiatan-kegiatan rohani yang berpadanan dengan program paroki dan rayon. 
Pada tahun 2010  misalnya perecikan rumah umat masa prapaskah yang ditawarkan oleh Pastor Hiasintus Sinaga, OFMCap sebagai pastor paroki mereka sambut dengan baik dan umat pun merasa bangga dan gembira dengan pelaksanaan itu. Selain itu, umat juga dengan antusias merayakan pesta pelindung stasi yakni Santo Kornelius yang merupakan pesta kebersamaan dan sekaligus gerakan pengumpulan dana dalam pembenahan-pembenahan stasi. Hal itu mereka lakukan dengan rutin sejak 2009 yang lalu dengan mengikuti perayaan ekaristi. Kegiatan Anak sekolah minggu dan OMK juga tidak luput dari perhatian mereka. 
Saat ini jumlah umat terdiri dari 52 KK dan 202 jiwa. Dan stasi ini tergolong stasi yang cukup besar dalam paroki St. Pius X Aek Kanopan serta stasi yang terbesar di rayon Pamingke. Kehidupan ekonomi umat tergolong sebagai kelompok menengah ke bawah. 


12.  STASI SANTO YAKOBUS ADIAN TOROP
  Sejarah
Secara historis agama Katolik masuk ke Adian Torop sekitar tahun 1967. Penyebaran agama ini berasal dari para perantau yang berasal dari ‘Desanaualu’ yang hendak mengadu nasib di tempat yang baru. Menurut informasi yang berhasil dihimpun,  jumlah mereka mula-mula hanyalah 8 KK. Sebagai jemaat yang baru mekar, untuk sementara waktu mereka melangsungkan peribadatannya di rumah bapak G. Simangunsong. Setelah 4 bulan peribadatan berjalan, umat mulai berpikir untuk mendirikan Gereja dan kemudian bapak G. Simangunsong diangkat menjadi seksi pembangunan. Sebagai langkah awal pembangunan, mereka mengumpulkan iuran (guguan) sebesar Rp. 450 per-KK. Uang yang terkumpul sebesar Rp. 3.600 digunakan untuk membeli tanah Gereja seluas ½ ha. Segera sesudah tanah diperoleh, umat bergotong royong mengambil kayu dari hutan dan memulai pembangunan gereja. Akhirnya gedung gereja berukuran 5x7m, berdinding tepas, beratap ilalang, bertiang bulat dan lantai tanah, selesai dibangun dalam waktu yang cukup singkat hal ini terjadi pada tahun 1969.
Selanjutnya umat mulai memilih Pengurus Gereja, dengan susunan sebagai berikut:
Vorhanger:  M.Purba;  Sintua : B. Sihombing dan K.Aritonang; Pengurus Bangunan: G. Simangunsong.   
Pada tahun 1971, angin putting beliung menghantam gereja dan ambruk seketika. Meskipun gereja telah ambruk, namun umat tetap setia melaksanakan ibadat pada hari Minggu di rumah porhanger M. Purba. Keadaan ini berlangsung selama enam bulan. Para Pengurus Gereja mengumpulkan umat untuk bermusyawarah guna membeli pertapakan baru, yang lebih aman. Umat sepakat untuk membeli pertapakan baru. Mereka memberi iuran per-KK sebesar Rp. 150. Pada tahun 1972, hasil guguan per-KK (berjumlah Rp. 1.200) digunakan untuk membeli pertapakan gereja seluas 2 rante, yang terletak di pinggir rel Kereta Api (lokasi gereja sekarang). Dengan semangat, umat kembali membangun gereja berukuran 5x7m tiang persegi, dinding papan, atap ilalang dan lantai tanah. Pada masa itu umat bertambah menjadi 38 KK.
Alasan mereka untuk segera membeli pertapakan baru ialah karena pertapakan lama itu kurang mendukung suasana peribadatan. Lokasi pertapakan itu sangat dekat dengan rumah-rumah penduduk, sehingga aroma kurang sedap kerap mengganggu peribadatan. selain itu juga kondisi fisik gereja juga sudah memprihatinkan.
        Setahun berlalu sesudah pembangunan gereja baru itu, umat memohon bantuan seng sebanyak 40 lembar dari paroki. Permohonan ini dikabulkan, maka atap gereja berganti dari ilalang menjadi seng. Tahun 1974 sampai 1976 gereja ini pernah dipakai menjadi ruang sekolah SD Katolik. Hal itu berlangsung kurang lebih tiga tahun. Sekolah ini adalah cabang dari SD Katolik St. Paulus – Adian Modang. Dan, sebagai guru menetap waktu itu ialah Ungkap Lumban Gaol dan Kasianna br. Sianturi. Pada waktu itu Pengurus Gereja sudah berganti, dengan susunan kepengurusan sebagai berikut: Porhanger    : H. Simanjuntak; Sintua : M. Purba, K. Aritonang: B. Sihombing,  M. Nababan sedangkan sebagai Pengurus Bangunan adalah R. Lumbangaol.
Dalam perjalanan waktu jumlah umat semakin bertambah. Rentang waktu tiga tahun (1976-1978) umat berjumlah 42 KK, termasuk umat yang tinggal di Pamaratan, karena di Pamaratan gereja Katolik belum ada. Struktur Pengurus Gereja pada periode ini sebagai berikut: Porhanger : M. Gultom; Sintua : M. Purba,     B. Sihombing,   K. Aritonang,  M. Nababan,   KR. Sihombing sedangkan Pengurus bangunan  : R. Lumban Gaol.
Pada periode ini keluarga G. Simangunsong dan H. Simanjuntak pulang ke kampung masing-masing. Jumlah umat berkurang menjadi 40 KK. Periodisasi terjadi lagi pada tahun 1978. Maka struktur Pengurus Gereja yang terpilih yakni: Porhanger: KR. Sihombing;  Wakil Porhanger: M Purba;  Sintua        : B. Sihombing; K. Aritonang; M Nababan ; Seksi Pembangunan: H.Purba (Ketua),  R.Banjarnahor (Sekretaris);  M Siregar (Bendahara).
Pada tahun 1979 Seksi Pembangunan memanggil umat untuk bermusyawarah mengenai perehaban gereja karena sudah mulai lapuk. Hasil musyawarah tersebut adalah sebagai berikut: gereja dibangun berukuran 6 x 9 m, atap seng, dinding setengah beton dan lantai tanah. Jumlah dana yang dibutuhkan berjumlah Rp. 1.750.000,- dengan bantuan dari paroki oleh Pastor Arie van Diemen, OFMCap Rp. 500.000,- dan dari umat Rp. 1.250.000,-. Akhir tahun 1979 gereja baru selesai dibangun. Gedung gereja diberkati oleh Mgr. A. G. Pius Datubara, OFMCap. pada bulan April 1980 sekaligus menerimakan Sakramen Krisma.
Pada periodisasi tahun 1981, terbentuk susunan kepengurusan baru sebagai berikut: Porhanger : KR. Sihombing;   Wakil Ketua      : M Purba; Sintua: B. Sihombing, K. Aritonang, W. Lumban Gaol. Jumlah umat pada periode ini menjadi 30 KK, karena banyak umat yang pindah, termasuk salah seorang sintua, M. Nababan, yang pindah ke Lubuk Pakam. Perpindahan ini diakibatkan oleh banjir yang selalu menggenangi sawah. Untuk dapat melanjutkan pembangunan, maka dibentuklah kelompok Ibu-ibu Katolik atau  Punguan Ina Katolik (PIK). Usaha ini cukup berhasil. Dari hasil kerja sama mereka, pada tahun 1982 gedung gereja dapat dilantai semen. Demikianlah keadaan pembangunan selama dua periode ini.
Suasana Peribadatan Hari Minggu
        Pada periode 1984-1987 situasi peribadatan umat berjalan seperti biasa. Akan tetapi, pada masa ini jumlah umat berkurang 2 KK karena pindah manombang ke arah Riau. Susunan pengurus pada periode ini sebagai berikut:   Porhanger:  W. Lumban Gaol; Wakil Porhanger:  KR. Sihombing; Sintua : K. Aritonang, B. Sihombing, M. Purba
Pada periode 1987-1990, jumlah umat berkurang lagi karena pindah ke Bagan Batu. Akhirnya, jumlah umat tinggal 24 KK. Susunan pengurus pada masa ini sebagai berikut: Porhanger: M. Purba;        Wakil Porhanger : KR. Sihombing; Sintua : W. Lumban Gaol, B. Sihombing, K. Aritonang.
Pada tahun 1990 diadakan lagi periodisasi pengurus untuk periode 1990-1993, dan terbentuklah susunan kepengurusan sebagai berikut: Porhanger : KR. Sihombing;  Wakil Porhanger : W. Lumban Gaol; Sintua       : K. Aritonang, B. Sihombing,  M. Purba.Pada masa periode ini jumlah umat masih tetap 24 KK. Punguan Ina Katolik (PIK) tetap dipupuk dengan baik. Pada masa periode inilah Sintua B. Sihombing meningal dunia.
        Pada periode 1993-1996 jumlah umat berkurang lagi sebanyak 2 KK karena pindah tempat (menombang). Jadi jumlah umat menjadi 22 KK. Pada masa ini diperkenalkan istilah Ketua Dewan Stasi. Susunan pengurus pada periode ini: Ketua Dewan Stasi: KR. Sihombing; Wakil Ketua        : W. Lumban gaol; Sekretaris : R. Banjarnahor; Bendahara : H. Gultom; Anggota : K. Aritonang; R. Lumban Gaol; P. Rumapea; T. br  Rumahorbo; M. Br. Rumahorbo; S. Silaban. Pada periode inilah Sintua M. Purba meninggal dunia. Pada tahun 1996 sampai dengan tahun 1999, jumlah umat berkurang lagi dan tinggal 20 KK. Susunan pengurus pada periode ini adalah: Ketua Dewan Stasi : W. Lumban Gaol; Wakil Ketua:  KR. Sihombing; Sekretaris : P. Rumapea; Bendahara : H. Gultom; Anggota : K. Aritonang, R. Lumban Gaol,  D. Sitinjak
Pada tahun 1999-2000, jumlah umat berkurang 1 KK karena menjadi karyawan di PT. Torganda. Jadi, jumlah umat menjadi 19 KK. Dalam tahun 2000 ini bangku diganti sebanyak 16 buah dari swadaya umat, kayunya terbuat dari kayu meranti. Pengurus Dewan Stasi yang terpilih untuk periode ini adalah: Ketua Dewan Stasi : KR. Sihombing; Wakil Ketua : H. Gultom; Sekretaris        : D. Sitinjak; Bendahara : S. Silaban; Anggota : K. Aritonang, R. Lumban Gaol,  W. Lumban Gaol.
Susunan pengurus pada periode tahun 2004-2007 terdiri dari: Ketua Dewan Pastoral Stasi: KR.  Sihombing; Sekretaris: R. Banjarnahor; Bendahara: S. Silaban; Anggota: H. Gultom, W. Lumbangaol, K. Aritonang, R. Lumbangaol. Pada masa ini, persisnya tahun 2005 gereja yang sekarang yang tergolong gereja yang indah dan bersih di rayon pamingke dibangun dan diberkati oleh P. Nelson Sitanggang, OFMCap. Gereja sebelumnya terletak di bagian belakang rumah-rumah penduduk. Dan aroma sekitar berbauk busuk yang menggangu peribadatan. Maka pertapakan gereja yang lama dipindahkan ke tempat yang cukup berjarak dari perkampungan ke sebelah Barat kampung Andian Torop. Dengan berdirinya gereja baru ini, semangat umat juga bertambah.
Masa selanjutnya kepemimpinan diserahkan kepada Bapak H. Gultom sebagai Ketua Dewan Pastoral Stasi (KDPS) dengan wakilnya Ompu Soritua Sihombing (KR. Sihombing). Bendahara : S. Silaban sedangkan para anggota terdiri dari: K. Aritonang, R. Lumbangaol, J.  Purba dan J. Tarigan. Pada masa ini tidak terlalu ada perkembangan yang mencolok. Akan tetapi perkembangan kecil-kecil terjadi juga misalnya pendampingan anak-anak sekolah minggu. Sebelumnya perkumpulan dan pendampingan anak sekolah minggu hampir tidak ada tetapi karena KDPS sungguh memberi hatinya terhadap anak-anak ini maka selama periode ini anak asmika selalu berkumpul setiap hari minggu untuk dibina dalam peribadatan. Demikian juga dengan perkumpulan doa rosario pada bulan Maria dan bulan Rosario. Umat selalu berkumpul dan berdoa rosario di rumah-rumah umat secara bergiliran kendati kehadiran umat tidak terlalu menggembirakan.
H. Gultom KDPS 2007-2015
Periode berikut berlangsung dari tahun 2010-2015. Masa bakti pada periode ini tidak lagi 3 tahun seperti sebelumnya tetapi menjadi 5 tahun sebagaimana anjuran pihak Keuskupan Agung Medan yang digembalakan oleh Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap. Bapak H. Gultom masih terpilih sebagai KDPS dengan wakil S. Silaban. Sekretaris: KR. Sihombing dan Bendahara: J. Purba. Sedangkan anggota hanya 2 orang yakni R. Lumbangaol dan J. Tarigan. Pada masa ini, setiap kali kunjungan pastoral Pastor Paroki, P. Hiasintus Sinaga, OFMCap selalu membuat katekese ringan tentang pendalaman dan penghayatan ekaristi dengan menerangkan ritus ekaristi terutama bagaimana umat sungguh terlibat dalam perayaan ekaristi dan penyemarakan jalannya liturgi ekaristi.
Dalam periode ini kegiatan asmika dan perkumpulan doa rosario dilanjutkan. Satu hal yang menggembirakan pada masa ini bahwa para Orang Muda Katolik (OMK) sudah dilibatkan dan melibatkan diri dalam kegiatan menggereja misalnya sebagai petugas-petugas liturgi pada hari Minggu dan kebersihan gereja. Sementara itu pada saat ini penegakan disiplin masuk peribadatan setiap hari Minggu dipertegas. Umat menyepakati agar peribadatan setiap hari Minggu dimulai pukul 10.00 WIB entah berapa pun jumlah umat yang hadir. Dan hal ini cukup menggembirakan. Demikianlah kondisi terakhir stasi Adian Torop yang menurut statistik tahun 2013 berjumlah 17 KK dan 85 jiwa umat. 
13.  STASI SANTO ANDREAS KAMPUNG BARU
  Sejarah
Pada tahun 1982 bapak R. Sihombing ditempatkan mengajar di Desa Kuala Beringin. Pada awal mula, beliau belum mengetahui sama sekali situasi desa itu. Akan tetapi, beliau tergolong sebagai seorang katolik yang militan. Setelah beberapa hari tinggal di sana perasaannya sangat miris karena di lingkungan sekolah tidak ada orang katolik atau umat Kristen lain. Oleh karena itu beliau berusaha mencari Gereja Katolik terdekat.  Akhirnya, dia menemukan Gereja Katolik Stasi Simpang Empat, kurang lebih 5 km dari tempatnya mengajar. Pada awalnya dia mencoba beribadat di gereja Simpang Empat, tetapi karena kondisi hutan dan jarak yang cukup jauh, maka beliau mencari orang-orang katolik di sekitar dengan maksud membuat perkumpulan Katolik.

Gereja Stasi Kampung Baru

R.Sihombing menemu kan keluarga S. Sitorus dan tiga kepala keluarga lainnya. Sekitar tahun 1988 mereka sepakat untuk mengadakan kebaktian bersama secara katolik di rumah S. Sitorus.Mereka mengangkat Pak S. Sitorus sebagai porhanger.Setelah beberapa bulan anggota mereka bertambah 1 KK, sehingga jumlah umat menjadi 6 KK. Kemudian mereka sepakat untuk membangun gedung gereja secara bertahap. Sebagai langkah awal mereka sepakat untuk mengumpulkan iuran sebesar Rp. 1.000 / 2 minggu.
    Pada tahun 1990, umat mendirikan sebuah gereja darurat yang berdinding gedek, beratap nipa, bertiang kayu bulat dan berlantai tanah, dengan ukuran 5 x 6 m. Lokasi gereja berada di samping rumah Bapak B. Siahaan. Pertapakan gereja darurat ini masih berstatus pinjaman sampai ada tanah pertapakan yang dapat dibeli. Bapak B. Siahaan memberi izin karena beliau juga beragama Katolik. Uang iuran dipakai untuk membeli atap, dinding dan paku, sementara tiang dicari dengan bergotong-royong. 
Setelah beberapa lama umat bertambah 1 KK, sehingga jumlah umat stasi ini menjadi 7 KK. Seringnya Pastor dan Suster berkunjung ke Stasi Kampung Baru membuat umat semakin bersemangat. Ketika pastor dan suster datang ke Stasi Kampung Baru umat memberi usul pembelian tanah untuk lokasi gereja. Pastor kemudian menugaskan umat untuk mencari lokasi gereja yang cocok. Pada tahun 1995, seorang masyarakat Kampung Baru hendak menjual rumah, yang luas tanahnya adalah 15x30 m. Rumah tersebut berukuran 6x9 m dengan harga pertama Rp 2.500.000,00. Setelah mendapat informasi umat bermusyawarah agar rumah itu dibeli untuk dijadikan gereja. Umat lalu mengutus tiga orang untuk melapor kepada Pastor sesuai dengan janji beliau.
Setelah mendapat persetujuan dari Pastor Simon OFMCap., akhirnya rumah tersebut dibeli dengan harga Rp 2.000.000,00. Namun, umat mengalami peristiwa yang menyinggung perasaan ketika membeli rumah itu. Seorang kepala desa yang bernama M. Ayun (mantan Kepala Desa Kuala Beringin) mengatakan kepada Bapak Manalu, seorang umat katolik Kampung Baru, bahwa rumah itu tidak boleh dijual kepada umat Kristen dan tidak boleh dijadikan untuk gereja. Ketika Bapak Manalu menceritakan hal itu di gereja, banyak umat merasa tidak senang. Akan tetapi pemilik rumah mengatakan bahwa penjualan rumah adalah haknya kepada siapa hendak dijual. Singkat cerita umat pun bermusyawarah lagi agar bergotong-royong memperbaiki rumah itu supaya berbentuk gereja. Dan, keadaan gereja itu pun masih sederhana, berdinding papan dan beratap seng tetapi masih berlantai tanah. Beberapa lama kemudian umat bergotong-royong melantai semen dengan cara membeli semen satu sak per-dua keluarga. Akhirnya, umat pindah gereja setelah bergotong-royong membuat bangku ke gereja yang dibelikan oleh Pastor Simon Sinaga, OFMCap. Setelah pindah ke gereja yang baru, gereja darurat dibongkar dan tanahnya dikembalikan kepada bapak B. Siahaan.
    Setelah beberapa lama berada di gereja baru itu jumlah umat bertambah 2 KK. Pada saat itu banyak rintangan yang menghalangi perkembangan stasi Kampung Baru. Apalagi jika hendak diresmikan menjadi anggota baru gereja Katolik, Pastor Josue Stainer, OFMCap mewajibkan umat untuk mengetahui doa-doa pokok. Anggota-anggota baru itu buta huruf dan tidak mau diajari (berlagak pandai). Di samping itu, ada kesalahpahaman anggota-anggota baru terhadap pengurus, sehingga mereka mengundurkan diri dan pindah ke HKBP kembali. Jumlah anggota tinggal 7 KK.
Pada tahun 1996 1 KK umat katolik Kampung Baru pindah ke daerah Pekanbaru  yaitu Bapak Manalu. Jumlah umat berkurang sehingga menjadi 6 KK. Beberapa lama kemudian umat bertambah lagi 1 KK, yaitu keluarga Bapak M. Naibaho. Jumlah anggota gereja Stasi Kampung Baru kembali menjadi 7 KK. Dan, pada tahun 1997 keluarga Bapak A. Siahaan (Wakil Ketua Dewan Stasi) pindah ke daerah Kota Pinang. Jumlah umat berkurang lagi menjadi 6 KK. Pada tahun 1998, jumlah umat bertambah lagi 1 KK sehingga kembali menjadi 7 KK sampai sekarang. Mulai tahun 1998, umat membayar iuran  sebanyak Rp 4.000 sampai bulan Juli. Setelah itu bertambah lagi menjadi Rp 5.000/bulan yang diperuntukkan bagi pembangunan gereja nantinya.
Struktur kepengurusan periode 2010-2015 Stasi kampung Baru adalah sebagai berikut: KDPS   : Sudirman Sitorus ; WKDPS    : Tangi Siahaan;  Sekretaris: Tionar Sitinjak; Bendahara:  Basaria Sitorus. Menurut statistik paroki tahun 2013, jumlah umat sekarang terdiri dari 7 KK dengan 39 jiwa. Kondisi umat sungguh sederhana dalam banyak hal. Semoga atas tuntunan Roh Kudus stasi ini memperoleh angin baru ke masa depan.

 


              14   STASI SANTO PAULUS HARIAN TIMUR
SEJARAH

Pada tahun 1970-an cukup banyak orang-orang dari Samosir dan Tapanuli datang ke daerah Kualuh Hilir untuk mencari lahan pertanian. Mereka pada umumnya sudah memeluk agama Kristen. Kurang lebih tahun 1973 mereka membentuk perkumpulan peribadatan bersama. Dari sekian banyak orang Kristen yang ada, di antaranya terdapat orang Katolik. Jumlah orang Katolik pada waktu itu sebanyak 10 Kepala Keluarga.

Pada suatu hari orang-orang Katolik ini mengadakan pertemuan khusus. Dalam pertemuan tersebut mereka menyepakati untuk membuat peribadatan khusus secara Katolik untuk setiap Minggunya.
Menuju Stasi Harian Timur

Peribadatan secara liturgis Katolik untuk pertama sekali diadakan di rumah J. Sinaga (Pak Rapat) yang waktu itu masih berstatus lajang. Gelar beliau cukup terkenal dengan nama panggilan “Sibalga Sangku”.  Kurang lebih setahun kemudian tempat berkumpul pindah ke rumah Pak Hotler Manik dan pemimpin ibadat tetap J. Sinaga.
         Pada bulan Februari 1975 Saudara J. Sinaga diutus ke Paroki St. Pius X Aekkanopan untuk bertemu dengan P. Arie van Diemen, OFMCap. (Pastor Paroki). Pada kesempatan itu juga J. Sinaga memberikan uang hasil kolekte mereka selama satu tahun. P. Arie Van Diemen, OFMCap, dengan senang hati menyambut kedatangan J. Sinaga, serta menerima setoran kolekte mereka. Sebagai ungkapan dukungan, P. Arie Van Diemen, OFMCap. memberi kepada J. Sinaga satu  Bibel,  Buku Ende Katolik dan  buku katekese untuk dipergunakan dalam peribadatan di Harian Timur (Kandang Horbo).
Akhirnya, dengan segala dinamika permusyawarahan di kalangan umat, gereja yang sangat sederhana dengan ukuran 7 x 9 m didirikan. Pada waktu itu umat katolik  10 KK itu sudah tinggal menetap di Harian Timur (Kandang Horbo).
          Dengan petunjuk Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, keluarga Idel Baldus Simbolon pindah dari Stasi Pamingke ke Stasi Kandang Horbo. Bapak ini sangat terlibat dan terbiasa dengan pelayanan di gereja  sebelumnya  sehingga beliau dengan senang hati menjadi pemimpin di Harian Timur (Kandang Horbo). Kepemimpinan beliau berlangsung cukup lama yakni, tahun 1975 – 1995. 
Gereja Lama
Kehadiran keluarga Idel Baldus Simbolon terutama bapak ini menjadi rahmat istimewa dalam perkembangan jumlah umat Katolik di Harian Timur (Kandang Horbo). Berkat karya Roh Kudus, tahun 1982 warga katolik sudah mencapai 40 KK. Atas penyemangatan Roh yang sama, timbullah niat perbaikan gereja. Gedung gereja yang mereka rencanakan berukuran 7 x 12 m. Pada pesta penerimaan Krisma  yang dipimpin oleh Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap. tahun 1983, diadakan juga pesta pembangunan gereja lengkap dengan “Gondang Sabangunan”.

 Pada  tahun 1987, jumlah umat sudah mencapai 50 KK.  Dengan semangat, umat bersatu padu untuk merehab ulang gereja dengan ukuran 7x15 m dengan kondisi gereja semi permanen. Inilah gereja yang dimiliki umat sampai sekarang. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, umat juga sepakat untuk tetap mengutip dan mengumpulkan uang secara pelan-pelan untuk mengantisipasi perkembangan pembangunan selanjutnya.

 Kepemimpinan pun silih berganti. Bapak Simbolon karena alasan pindah tempat tinggal ke Aek Kanopan, digantikan  oleh bapak L. Sitanggang atau Amani Bosner Sitanggang.  Kepemimpinan beliau berlangsung sejak tahun 1995 sampai 1999.  Kemudian Bapak L. Sitanggang memberikan tongkat estafet penggembalaan kepada Bapak O. Malau melalui proses periodisasi. Periode berikutnya, Stasi Kandang Horbo dilayani para pengurus gereja dan sebagai Ketua Dewan Stasi diemban oleh Bapak  S. Naibaho. Dan sekarang kepemimpinan pelayanan diemban oleh Bapak M. Siallagan.
Bpk M. Siallagan (KDPS) dengan Ibu

Perkembangan zaman semakin laju. Dan, perkembangan ekonomi umat relatif berkembang. Akan tetapi, sangat disayangkan,  perkembangan ini tidak diikuti oleh perkembangan iman dan cita rasa kekatolikan.

Untuk mengimbangi perkembangan jaman yang tidak seiring dengan semangat umat untuk mengembangkan kehidupan rohaninya, maka pihak paroki mencoba mengupayakan berbagai pembinaan dan perberdayaan pengurus melalui: Sermon-sermon, kursus-kursus dan menggiatkan kelompok-kelompok kategorial misalnya Perkumpulan Bapak Katolik, Perkumpulan Ibu Katolik, OMK dan Minggu anak-anak. Selain itu, pendidikan CU juga memiliki andil tersendiri dalam pemberdayaan dan pembinaan umat. 
         15. STASI ST. ANTONIUS DARI PADUA PARDAMARAN
  Sejarah
Gereja Katolik Pardamaran berdiri pada tahun 1964. Proses pendirian stasi ini diprakarsai oleh para panombang (perantau) yang datang dari daerah Samosir, yang sebagian besar berasal dari Pangururan dan membuka lahan di sana. Pada tahap awal  umat berjumlah 10 KK dan beribadat di rumah bapak A. Simbolon. Supaya kelompok ini dapat terorganisir dengan baik, mereka sepakat memilih para pengurus. Mereka yang terpilih adalah: bapak A. Simbolon menjadi Porhanger, J. Buaton sebagai Bendahara dan J. Sinambela sebagai Sekretaris.  

Gereja Stasi St. Antonius Padua Pardamaran
Enam bulan berselang setelah para pengurus inti dipilih, umat semakin melihat bahwa rumah A. Simbolon tidak lagi memadai dijadikan tempat peribadatan. Disamping karena rumah itu kecil, jumlah umat pun sudah mulai bertambah. Maka atas kesepakatan bersama mereka berencana  mendirikan gereja. Rencana itu ditindak lanjuti dengan menyampaikan permohonan pendirian gereja kepada Kepala Desa, bapak Bangkit Rambe. Kepala Desa memberikan izin, sekaligus menyerahkan tanah seluas 10 rante menjadi pertapakan gereja.

      Segera setelah izin mendirikan gereja diperoleh, umat bergotong royong untuk mencari kayu, yang akan dipakai sebagai bahan bangunan. Selama satu bulan umat bekerja keras untuk mengumpulkan kayu dan usaha mereka membuahkan hasil. Akhirnya mereka berhasil mendirikan gereja berukuran 6x5 meter2. Atap bangunan gereja terbuat dari ilalang, dinding dari tepas, dan bangku dari kayu bulat. Pada saat itu mereka masih memakai ungkapan “asal ma jo adong.”  (Yang penting, gereja ada) Soal bagaimana kondisinya, itu merupakan prioritas kedua.

Pada tahun 1965, jumlah umat semakin bertambah, karena makin banyak panombang yang datang dari berbagai daerah. Jumlah umat sudah mencapai 25 KK. Bertambahnya jumlah umat menjadi pendorong bagi umat stasi Pardamaran untuk semakin giat dan aktif dalam kehidupan menggereja. Mereka memberitahukan keberadaan stasi Pardamaran ke Paroki Kisaran, dan Pastor Paroki menyambut baik kehadiran mereka dan memberi semangat kepada mereka.

Pengimaman


            Pada tahun 1969 umat stasi Pardamaran mengadakan periodisasi pengurus dan terpilihlah bapak J. Sinambela sebagai Porhanger. Akan tetapi sebelum masa jabatannya berakhir, bapak J. Sinambela memilih untuk pulang ke Kampung halaman dan bapak J. Buaton menjadi Porhanger sementara di stasi Pardamaran. Umat melihat bahwa bapak J. Buaton cukup baik dalam memimpin stasi Pardamaran, maka mereka sepakat untuk menjadikan beliau sebagai Porhanger di stasi tersebut.

Bila pada tahun 1965 jumlah umat hanya berkisar 25 KK maka pada tahun 1973 jumlah umat sudah mencapai 45 KK. Gedung gereja yang ada tidak sanggup lagi menampung umat yang sedemikian banyak itu. Atas dorongan dari P. Arie van Diemen, OFMCap, umat bersama-sama membangun gedung gereja yang lebih layak pakai dan ukuran yang lebih besar, yang diharapkan cukup menampung semua umat yang ada di Pardamaran. Demikianlah akhirnya pada tahun 1975 gereja yang mereka harapkan itu dapat berdiri dengan kokoh. Gereja yang baru itu berukuran 8x9 m2, berlantai semen, dinding terbuat dari papan, beratap seng dan bangku terbuat dari papan. Ketika gedung gereja ini dibangun yang menjabat sebagai vorhanger adalah bapak J. Pandiangan.

Susana Perayaan  Ekaristi Hari Biasa

Pada periodisasi tahun 1989 bapak J. Pandiangan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan kepada bapak S. Ginting. Pada masa itu bapak S. Ginting adalah tenaga guru Agama Katolik (honorer) di SD Pardamaran. Masa kepemimpinannya tidak berlangsung lama karena beberapa tahun kemudian dia diangkat sebagai PNS dan dan ditempatkan di Pancur Batu. Akhirnya Porhanger stasi Pardamaran diteruskan oleh bapak A. Naibaho.

            Pada tahun 1992, Porhanger A. Naibaho mengajak seluruh umat berkumpul dan membicarakan perehaban gereja, karena sudah tidak layak pakai (papan sudah mulai lapuk dan seng sudah bocor) dan tidak lagi layak tampung. Bapak A. Naibaho membuat Surat Permohonan kepada Pastor Paroki (P. Simon Sinaga, OFMCap.) dan permohonan tersebut diteruskan Pastor Paroki ke Keuskupan. Sebagai keteguhan hati dan kesatuan umat, mereka mengumpulkan iuran (guguan) sebesar Rp. 1.000.000/KK. Sistem pengumpulan iuran adalah dengan cicilan per bulan. Usaha pengumpulan dana ini berlangsung hampir selama 6 tahun. Akhirnya pada tahun 1998 umat stasi Pardamaran berhasil mendirikan gereja permanen dengan ukuran 8x10 m2. Akan tetapi perehaban gereja menjadi permanen bukan jaminan pertambahan umat akan tetap semakin baik. Pada tahun-tahun selanjutnya umat stasi Pardamaran semakin berkurang menjadi 20 KK. Banyak keluarga yang pindah untuk mencari kehidupan perekonomian yang lebih baik. Beberapa dari mereka kembali ke Kampung halaman (Bona Pasogit) dan sebagian lagi mencari tanah panombangan yang baru, di antaranya ada yang pindah ke Hau Napitu dan Pinggol Toba.

Umat berpose bersama P. Hiasintus Sinaga

Pada periodisasi pengurus tahun 1998, tongkat estafet kepemimpinan beralih dari bapak A. Naibaho kepada bapak M. Sinaga. Kepemimpinan bapak M. Sinaga hanya berlangsung satu periode (3 tahun). Pada periodisasi tahun 2001 jabatan Porhanger kembali dipangku bapak A. Naibaho. Pada tahun 2002 Rayon Asahan mengadakan Pesta Paska Rayon di stasi Pardamaran. Pada saat pesta Pastor Paroki, P. Nelson Sitanggang, OFMCap., memberkati Gereja Katolik Pardamaran. Pada saat itulah ditetapkan bahwa Santo Pelindung Gereja Katolik Pardamaran adalah St. Antonius Padua. Pada saat itu juga diadakan pengumpulan dana, yang diperuntukkan mambangun pagar gereja dan toilet. Setelah dana terkumpul, maka pada akhir tahun 2003 hingga awal tahun 2004 diadakan pembangunan pagar dan toilet, dan proses pembangunan berjalan dengan baik. Masa kepemimpinan bapak A. Naibaho dapat disebut sebagi masa-masa kejayaan stasi St. Antonius Pardamaran, terutama dalam keaktifan dan semangat menggereja umat. 

           
KDPS Bpk. D. Naibaho
Pada tahun 2005 stasi Pardamaran kembali mengadakan periodisasi pengurus dan terpilihlah bapak D. Naibaho sebagai Porhanger. Pada masa kepemimpinan beliau, bangunan gereja kembali mengadakan perehaban, yakni dengan membuat keramik di bagian dalam gereja. Selama periode kepemimpinna bapak D. Naibaho, stasi Pardamaran mencapai beberapa prestasi. Pada tahun 2006 ASMIK
A meraih Juara Umum dalam Pesta ASMIKA se-Rayon Asahan. Selanjutnya PIK memperoleh Juara I Festival Koor Grup B, pada Festival PIK se-Paroki tahun 2008.

Bapak D. Naibaho kembali terpilih menjadi Porhanger pada tahun 2010 hingga 2015 nanti. pada masa kepemimpinannya saat ini umat tinggal 18 KK. Pada saat ini, sebagai satu stasi, stasi Pardamaran masih tergolong stasi yang aktif dan hidup. Akan tetapi tampaknya membutuhkan perhatian ekstra, karena sebagian umat sudah semakin jarang datang ke gereja dan minat terhadap hidup menggereja semakin turun. Meskipun demikian kegiatan pembinaan ASMIKA masih tetap berjalan. Demikian halnya PIK masih tetap aktif dan memberi perhatian untuk mengembangkan Gereja.

Para Pengurus Bersama P. Hiasintus


     Susunan Porhanger/KDPS dari tahun ke tahun sebagai berikut:  Tahun 1964-1969: A. Simbolon; 1969-1972: J. Sinambela; 1972-1976: J. Buaton; 1976-1989: J. Pandiangan; 1989-1991: S. Ginting; 1991-1998: A. Naibaho; 1998-2001: M. Sinaga; 2001-2005: A. Naibaho; 2005-2010: D. Naibaho; 2010-2015: D. Naibaho


   















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger Paroki Aek Kanopan