1. Stasi Wilayah Adian Baja Aek Kanopan
2. Stasi Wilayah Adian Modang Aek Kanopan
3. Stasi Wilayah Adian Torup Aek Kanopan
4. Stasi Wilayah Aek Kanopan Aek Kanopan
5. Stasi Wilayah Aek Nabara Aek Kanopan
6. Stasi Wilayah Aek Nauli Aek Kanopan
7. Stasi Wilayah Bandar pulo Aek Kanopan
8. Stasi Wilayah Bulu Cina Aek Kanopan
9. Stasi Wilayah Cinta Rame Aek Kanopan
10. Stasi Wilayah Galanggang Aek Kanopan
11. Stasi Wilayah Harian Timur Aek Kanopan
12. Stasi Wilayah Hau Napitu Aek Kanopan
13. Stasi Wilayah Huta Baru Aek Kanopan
14. Stasi Wilayah Jambur Damuli Aek Kanopan
15. Stasi Wilayah Kampung Baru Aek Kanopan
16. Stasi Wilayah Kilang Saudara Aek Kanopan
17. Stasi Wilayah Kuala Tani Aek Kanopan
18. Stasi Wilayah Labuhan Haji Aek Kanopan
19. Stasi Wilayah Lalang Bundar Aek Kanopan
20. Stasi Wilayah Makmur Aek Kanopan
21. Stasi Wilayah Marjani Aceh Aek Kanopan
22. Stasi Wilayah Pdg. Mahondang I Aek Kanopan
23. Stasi Wilayah Pdg. Mahondang II Aek Kanopan
24. Stasi Wilayah Stasi Pamaratan Aek Kanopan
25. Stasi Wilayah Pamingke Stasiun Aek Kanopan
26. Stasi Wilayah Pancasila Aek Kanopan
27. Stasi Wilayah Panigoran Aek Kanopan
28. Stasi Wilayah Pardamaran Aek Kanopan
29. Stasi Wilayah Pardomuan Nauli Aek Kanopan
30. Stasi Wilayah Parsaoran Aek Kanopan
31. Stasi Wilayah Pinggol Toba Aek Kanopan
32. Stasi Wilayah Pulo Angin Aek Kanopan
33. Stasi Wilayah Pulo Gombut Aek Kanopan
34. Stasi Wilayah Pulo Harapan Aek Kanopan
35. Stasi Wilayah Pulo Maria Aek Kanopan
36. Stasi Wilayah Pulo Raja Aek Kanopan
37. Rambung Merah Aek Kanopan
38. Stasi Wilayah Sei Naetek Aek Kanopan
39. Stasi Wilayah Sei Peranginan Aek Kanopan
40. Stasi Wilayah Sei Piandang Aek Kanopan
41. Stasi Wilayah Simpang Empat Aek Kanopan
42. Stasi Wilayah Sinar Toba Aek Kanopan
43. Stasi Wilayah Situngir Aek Kanopan
44. Stasi Wilayah Suka Maju Aek Kanopan
45. Stasi Wilayah Sungai Apung Aek Kanopan
46. Stasi Wilayah Sungai Juragan Aek Kanopan
47. Stasi Wilayah Sungai Karet Aek Kanopan
48. Stasi Wilayah Sungai Piring Aek Kanopan
49. Stasi Wilayah Tangkahan Bosi Aek Kanopan
50. Stasi Wilayah Tangkahan Habeahan Aek Kanopan
51. Stasi Wilayah Tangkahan Manggis Aek Kanopan
52. Stasi Wilayah Tapian Nauli Aek Kanopan
53. Stasi Wilayah Teluk Ampean Aek Kanopan
54. Stasi Wilayah Teluk Binje Aek Kanopan
55. Stasi Wilayah Trans Aek Kanopan Aek
56. Stasi Wilayah Tunggul Morbo Aek Kanopan Aek
1. PULO MARIA
Sejarah
Pada awalnya, di Pulau
Maria belum ada gereja Katolik, meskipun di sana sudah ada umat Katolik.
Pada tahun 1976, umat Katolik Pulau Maria beribadat ke Stasi Padang
Mahondang. Namun, apabila musim banjir, mereka beribadat ke Aekkanopan
(paroki). Mereka tidak pergi ke Kisaran karena jalan ke Aekkanopan lebih
bagus daripada ke Kisaran.
Prakarsa dari Bapak
Sinabariba (sebelumnya beragama HKBP) untuk membentuk perkumpulan
Katolik di Sei Piring (tahun 1976) sangat membantu bagi umat di Pulau
Maria. Mengingat jarak antara Sei Piring dengan Pulau Maria tidak
terlalu jauh, maka umat dari Pulau Maria beribadat ke Sei Piring.
Mayoritas umat Sei Piring adalah pedagang, sehingga setiap hari Minggu I
(masa gajian) sangat sedikit orang yang datang ke gereja. Umat Pulau
Maria yang datang ke Sei Piring sering hanya berjumpa dengan beberapa
orang saja yang beribadat. Hal ini membuat umat dari Pulau Maria sering
merasa kecewa.
Di
Pulau Maria sendiri ada seorang bapak yang awalnya adalah umat Katolik
pindah agama ke Protestan (HKBP) karena tidak adanya gereja Katolik di
Pulau Maria. Melihat mobilitas umat Katolik yang pergi ke Sei Piring,
beliau berniat kembali ke Katolik dan mengusulkan agar pelaksanaan
ibadat diadakan di Pulau Maria. Hal itu baru terwujud setelah bapak A.
Tampubolon (awalnya HKBP) mengusulkan agar ibadat dilangsungkan di
rumahnya. Atas permintaan paroki, Bapak A. Tampubolon dan J. Samosir
diutus untuk mengikuti kursus pengurus Gereja di PPU-Pematangsiantar.
Suatu ketika terjadi konflik antara Bapak J. Samosir dengan A.
Tampubolon, sehingga Bapak A. Tampubolon tidak lagi bersedia memberikan
rumahnya sebagai tempat berkumpul/beribadat. Bapak A. Tampubolon kembali
ke HKBP.
Oleh karena itu bapak J. Samosir mengusulkan pendirian gedung gereja
Katolik di Pulau Maria. Kira-kira tahun 1977/1978, gedung gereja
sederhana berukuran 4x6 m didirikan di atas tanah milik Bapak P. Malau
yang luasnya 5x20 m. Tanah dan gedung gereja itu berada di Jl. Pulau
Tanjung – Air Batu. Bahan-bahan bangunan yang berhasil dikumpulkan dari
umat antara lain: seng dari Bapak J. Samosir, bangku dan papan dari S.
Panjaitan (seorang Muslim, panglong; punya relasi yang dekat dengan
Bapak Sihotang/Op. Tio Doli (alm.), tepas dari Bapak Sihotang bersama
umat yang lain.
Mengingat status tanah
adalah pinjaman, maka diadakan doa rosario bergiliran setiap minggu
dengan agenda pengumpulan dana Rp 250 / KK. Jumlah umat pada periode ini
sudah mencapai kurang lebih 14 KK dan sebagai ‘porhanger sementara’
adalah Bapak Sinabariba (dari Sei Piring). Bapak Sinabariba digantikan
oleh Bapak Sihite (pindah dari Sei Naetek ke Pulau Maria karena musim
banjir). Hasil pengumpulan dana dari doa rosario bergiliran dipakai
untuk membeli tanah di dekat rel Kereta Api (lokasi gereja saat ini).
Luas tanahnya kira-kira 3 rante yang dibeli pada tahun1979. Doa rosario
dilanjutkan dengan sasaran membeli bahan-bahan bangunan. Selain doa
rosario, diadakan juga pengedaran kartu-kartu untuk meminta sumbangan
kepada donatur, ditambah dana dari.
Ibu R. Br. Hotang (KDS) dan Ibu R. Br. Ginting (Bendahara) |
Pada tahun 2009 gereja yang tergolong bagus itu direhab dan rampung tahun 2010. Perehaban terjadi dengan penambahan bagian pengimaman dan penataan interior sehingga semakin sakral dan tergolong bagus. Pencahayaan dan pengapikan warna juga sedemikian sehingga gereja bagian dalam sangat indah.
Selain itu, untuk peningkatan devosi kepada Bunda Maria sebagai pelindung Stasi ini dibangun dekat dengan pengimaman dan menambah kesakralan bangunan gereja ini. Satu hal yang pantas dibanggakan dari kesatuan umat stasi ini ialah bahwa semangat mereka untuk membangun gereja ini sungguh menggembirakan. Mereka mengumpulkan dana dari umat stasi sendiri dengan cukup banyak lebih dari Rp 100.000.000. Di stasi ini peranan para ibu dalam kepengurusan gereja sangat kentara. Baik bagian dalam maupun sekitar bagian luar gedung gereja selalu nampak tertata rapi dan bersih. Selamat.
Gua Maria terletak di samping kiri pengimaman yang menambah sakralnya suasana gereja 2. STASI SANTO PETRUS PADANGMAHONDANG I. Sejarah.
Pada tahun 1963 di kecamatan Pulau Rakyat tepatnya di Padang Mahondang
(± 12 km ke arah timur Pulau Raja), terdapat lahan kosong yang cocok
dijadikan persawahan atau panombangan baru. Berita ini tersiar sampai ke
pulau samosir, sehingga banyak orang Samosir datang ke Padang Mahondang
dengan tujuan bertani atau manombang. Perlu diketahui bahwa daerah ini
masih hutan, terbukti masih banyak pohon besar yang harus ditebang agar
dapat dijadikan persawahan.
Di antara orang-orang yang merantau ini ada yang beragama katolik.
Pertama-tama mereka beribadat di rumah-rumah karena gereja belum
dibangun. Rumah yang biasa dipakai sebagai tempat berdoa adalah rumah
Badu Lubis (alm.) dan rumah Dewan Tamba (alm.). Pemimpin perkumpulan doa
ini adalah bapak A. Massius Sinaga (alm.). Bapak inilah yang bersusah
payah mengumpulkan bapak-bapak untuk berkumpul. Ibu-ibu belum ada karena
isteri mereka masih tinggal di Samosir. Kegiatan ibadat di rumah ini
berlangsung hampir 1 tahun.
Pada awal tahun 1964 umat mulai mendirikan gereja secara darurat,
bertempat di Aek Kalubi sekarang. Gereja itu terbuat dari tiang kayu
bulat, dinding dari sanggar yang diikat dengan rapi, lantai tanah, atap
rumbia dan tempat duduk terbuat dari kayu bulat. Pada tahun 1965, gedung
gereja ini pindah ke tempat lain yaitu di Suka Ramai (tempat gereja
sekarang) yang dibeli dengan swadaya umat dari Bapak J. Haro (alm.),
seorang umat Katolik, seluas 40x40 m. Pada tahun ini umat bertambah
sekitar 70 KK, karena sesudah peristiwa G30S/PKI orang-orang yang tidak
beragama dianggap sebagai anggota PKI. Agama parmalim tidak diakui di
Indonesia, sehingga kebanyakan dari agama ‘parmalim’ masuk gereja
katolik.
Perkembangan umat yang cukup pesat membuat stasi ini berniat membangun
kembali gedung gereja dengan ukuran yang lebih besar. Akhirnya pada
tahun 1966 gedung gereja dibangun dengan ukuran 7x10 m, tiang kayu
bulat, dinding dari gedek, atap terbuat dari lalang, lantai tanah, dan
tempat duduk dari kayu bulat. Porhanger pada waktu itu adalah A.Massius
Sinaga.
Pada periodisasi tahun 1970 Bapak Alboin Tamba (alm.) dipilih menjadi
porhanger menggantikan A. Massius Sinaga. Pada masa kepemimpinan bapak
Alboin Tamba, kehadiran umat di gereja berkurang, karena dana
pembangunan gereja berupa beras tidak jelas (hilang). Hal ini
mengakibatkan perpecahan, umat Katolik Padang Mahondang menjadi dua,
yakni ‘Katolik Aek Niongkal’ dan ‘Katolik Suka Ramai’. Karena situasi
ini, pada Juni 1970 umat memilih kembali porhanger, yaitu Bapak Haloho.
Setelah Pastor Paroki mengetahui perpecahan ini, beliau datang dan
menasihati umat untuk bersatu kembali. Pastor datang untuk merayakan
Misa tetapi harus di gereja lama (Suka Ramai). Hal ini membuat umat
bersatu kembali.
Pada tahun 1972 gedung gereja dibangun kembali menjadi semi-permanen,
dengan swadaya dari umat yakni Rp. 500 per-KK. Umat yang kurang mampu
menggantinya dengan 4 kaleng pasir. Setelah dana terkumpul, pembangunan
gereja diserahkan kepada tukang dari Sei Piring bernama Kayun. Tetapi
tukang itu melarikan uang pembangunan, sehingga pembangunan terhenti
selama 2 bulan. Agar pembangunan dapat dilanjutkan, para pengurus
sepakat untuk memohon bantuan kepada Bapa Uskup dan mengutus bapak M.
Sirait ke sana. Dalam tempo 2 minggu Bapa Uskup mengirimkan bahan
bangunan gereja. Namun, Pastor tetap melakukan pencarian terhadap Si
Kayun (kepala tukang). Setelah ditemukan, Kayun diminta membayar ganti
rugi, yakni tanah seluas o,5 ha yang terletak di dekat titi Pulau raja
(depan Rumah Makan ‘Status Quo’ sekarang).
Tahun 1975 penduduk desa ini semakin ramai dengan kedatangan
orang-orang dari berbagai daerah untuk membuka lahan pertanian. Umat
Katolik pun bertambah sehingga mencapai 200 KK. Kegiatan gereja juga
semakin baik seperti PIK yang mengunjungi umat Katolik yang sakit.
Pada tanggal 18 Nopember 1974, Bapak A. Sarma Sinaga menjadi Porhanger
menggantikan Bapak Sihaloho, karena sakit. Pada masa kepemimpinan Bapak
Sarma penyetoran kolekte I ke Paroki mulai terlaksana (sebelumnya tidak
pernah). Akan tetapi pada, masa ini kehidupan umat sangat susah karena
tanaman padi rusak akibat banjir. Pada tahun 1977, di gereja ini terjadi
penerimaan Sakremen Krisma oleh Bapak Uskup Mgr. A. G. Pius Datubara,
OFMCap.
Pada tahun 1980 P. H. Simbolon terpilih menjadi porhanger. Kegiatan
gereja berjalan dengan baik seperti Doa Rosario setiap bulan Mei dan
Oktober, Drama Natal, dan para Pengurus rajin mengikuti kursus-kursus.
Pada tahun 1982 desa ini banjir kembali melanda daerah ini, karena
jebolnya benteng sungai Asahan, sehingga padi yang sedang menguning di
sawah gagal panen. Sampai tahun 1984 kehidupan umat semakin susah, mata
pencaharian hanya menangkap ikan. Hasil tangkapan ini dipakai untuk
membeli ubi racun yang diolah menjadi tepung gaplek. Bahkan salah satu
anak dari keluarga Katolik meniggal dunia akibat makan ubi racun yang
direbus. Oleh karena itu banyak orang pindah dan dengan demikian anggota
gereja pun semakin berkurang.
Pada tahun 1985, terjadi periodisasi pengurus. Setelah pemilihan
terjadi terjadi perpecahan, karena calon-calon porhanger dari Parsaoran
tidak terpilih. Porhanger terpilih saat itu berasal dari Aek Niongkal
yaitu Antonius Simbolon. Hal inilah yang menyebabkan berdirinya gereja
Katolik Padang Mahondang II. Situasi ini menjadi penyebab berkurangnya
umat Katolik. Anggota gereja lama tinggal 150 KK.
Selama kepemimpinan A. Simbolon keaktifan umat ke gereja semakin baik
walaupun gereja sudah terbagi dua. Kegiatan PIK semakin digalakkan dalam
koor, pendalaman iman yang dibina oleh suster, perlombaan koor khusus
bapak-bapak se-rayon Padang Mahondang. Pada tahun 1985 gereja semi
permanen direhab menjadi permanen. Pembangunan ini bermula dengan adanya
bantuan dari pemerintah untuk rumah-rumah ibadat dan gereja Katolik
mendapat bantuan sebesar Rp 1.200.000,00. Demi terlaksananya bangunan
gereja yang permanen, bantuan ini ditambah oleh umat. Umat diwajibkan
membayar 4 kaleng beras/KK atau setara dengan Rp 40.000. Pada masa itu ½
dari biaya pembangunan dibantu oleh Keuskupan,sehingga Gereja Katolik
Padang Mahondang I dapat berdiri dengan bangunan permanen.
Tahun 1989 – 1992, porhanger adalah Markus Sinaga. Kegiatan gereja
mengalami perkembangan, seperti doa Rosario diadakan di rumah umat yang
jarang ke gereja, pembentukan kumpulan bapak-bapak atau PAK. Pada masa
ini juga diadakan sambut komuni pertama untuk anak-anak kelas V SD s/d
SMP. Pada masa itu sintua yang berjumlah 12 orang, mengadakan pembinaan
kepada umat yang berasal dari Protestan yang ingin menjadi Katolik. Pada
tanggal 29 Juni 1992 diadakan penerimaan Sakremen Krisma sekaligus
pemberkatan gereja, dengan nama pelindung St. Petrus.
Sekitar tahun 1993 porhanger meninggalkan Padang Mahondang dan pindah
ke Riau, karena keadaan ekonomi yang tidak mendukung. Umat pun semakin
berkurang menjadi 110 KK karena banyak yang pindah ke Sidaludalu untuk
menanam sawit. Kepemimpinan Markus Sinaga digantikan oleh wakilnya M.
Marbun sebagai pelaksana. Pada tahun ini juga Bapak M. Marbun terpilih
menjadi porhanger sampai bulan Juni 1999. Selama kepemimpinan M. Marbun
kehidupan menggereja semakin digiatkan bahkan semakin berkembang
seperti: pembahasan Kitab Suci yang akan dikotbahkan pada hari Minggu
sesuai dengan kelender liturg, yang dilaksanakan setiap malam minggu dan
mengikuti Kursus kesejahteraan keluarga. Pada masa itu jumlah umat
tinggal 104 KK, karena banyak yang pindah ke tempat lain.
Pada tanggal 1 Oktober 1999 s/d tahun 2006 porhanger adalah S. Sinaga
atau A. Fitri Sinaga selama tiga periode. Kegiatan gereja masih berjalan
baik seperti biasa, jumlah pengurus bertambah menjadi 18 orang.
Kesatuan pengurus dapat juga dibanggakan. Koordinasi dengan pihak paroki
juga tergolong baik. Akan tetapi kesadaran umat dalam hal melakukan
kewajiban sebagai anggota gereja masih kurang. Hal itu terbukti dari
pembayaran iuran Paroki yang masih tersendat-sendat.
Periode selanjutnya (2007-2010) stasi ini dipimpin oleh Bapak Lubis.
Dalam masa bakti ini, kondisi Stasi cukup mengalami pergolakan karena
ada kesan bahwa umat kurang percaya kepada para pengurus tertentu
terutama berkaitan dengan pengelolaan duit. Untuk mencoba menanggulangi
permasalahan ini, pastor paroki bersama DPP turun untuk membuat rapat
khusus, tetapi di antara pengurus tidak ada keterbukaan untuk mengungkap
permasalahan. Pihak paroki sudah memprakarsai untuk pengevaluasian
situasi yang ada dengan membuat sermon khusus stasi. Hal inipun tidak
memberi hasil sebagaimana yang diharapkan.
Dalam kondisi sedemikian, periodisasi kepengurusan mengalami babak baru
sesuai dengan harapan keuskupan. Masa bakti bukan lagi berlaku selama 3
tahun dalam satu masa bakti tetapi menjadi 5 tahun. Masa bakti pengurus
2010 – 2015 dipimpin oleh Bapak Ambarita Simbolon. Riak-riak
ketidak-percayaan umat terhadap pengurus yang baru ini pun masih terasa.
Bahkan antara pengurus sendiri terjadi curiga mencurigai. Hal ini
tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Bapak Ambarita Simbolon. Beliau
berupaya untuk berlaku transfaran dalam pengelolaan keuangan sehingga
borok-borok pengurus lama semakin terungkap. KDPS ini sampai meneteskan
air mata di hadapan pastor paroki karena penghinaan yang dialaminya dari
sesama pengurus. Akan tetapi Bapak ini bertekad tidak akan mundur
selangkah pun untuk membuat yang terbaik semampunya demi kebaikan Stasi
St. Petrus Padang Mahondang I ini.
Karena bapak ini juga termasuk anggota Dewan Pastoral Paroki maka dia
cukup mengerti bagaimana pihak paroki bersikap terhadap stasi ini.
Kebijakan-kebijakan paroki pun diterangkan dan berusaha diterapkannya
dengan baik, kendati belum bisa secara langsung berterima bagi
sebahagian umat yang tergolong sebagai umat yang tidak gampang dilayani.
Dari
dulu sampai saat ini, kondisi stasi ini juga sangat dipengaruhi oleh
keberadaan Ikatan Petani Pancasila yang ada di kawasan ini. Penanganan
atas permasalahan lahan Ikatan Petani Pancasila pada saat ini sedang
menghangat sampai melibatkan aparat pemerintah dan keamananan negara.
Dalam hal ini para pengurus tergolong bisa diajak kerjasama oleh pihak
paroki terutama Bapak Ambarita Simbolon tetap berupaya sederap dengan
pihak paroki atau Caritas PSE Paroki. Semoga ke depan stasi ini terbuka
terhadap tuntunan paroki dan pihak-pihak rayon sehingga pelan-pelan
stasi yang memiliki jumlah umat terbesar kedua setelah stasi induk
Aekkanopan di paroki St. Pius X Aekkanopan, dapat mengalami perkembangan
yang signifikan. Salam.
3. STASI KRISTUS RAJA SUNGAIPIRING
Sejarah
Sekitar awal tahun 1970-an para perantau datang ke Sungaipiring. Sebagian mereka beragama Katolik. Saat itu para perantau (yang katolik) merasa kebingungan mencari gereja Katolik. Mereka ingin beribadat, teristimewa pada hari Minggu tetapi tidak menemukan gereja Katolik. Beberapa keluarga sempat pindah ke sekte protestan. Sebagian besar bergabung dengan umat stasi Pulau Raja.
Umat beribadat di gereja Okumene perkebunan PTPN IV Pulau Raja. Karena banyak sekte yang beribadat secara bergantian, maka setiap kali jumpa perayaan malam Natal, umat Katolik tidak dapat giliran untuk memakai gereja eukumene tersebut. Untuk merayakan Natal umat harus pergi ke gereja Paroki St Pius X Aekkanopan dengan jarak lebih kurang 20 km.
Dengan situasi yang demikian, umat ingin mendirikan tempat peribadatan mereka sendiri. Akan tetapi mereka kesulitan untuk menemukan tempat karena penduduk mayoritas non Kristen. Kendati demikian,
umat tidak menyerah. Kemauan mereka untuk mempunyai tempat peribadatan
tidak berhenti. Memang benar kata pepatah: “Dimana ada kemauan di situ
ada jalan”. Atas keinginan kuat untuk menemukan tempat peribadatan maka umat meminjam tanah milik salah seorang umat yaitu Bapak A. Sinaga.
Pada tahun 1976 gereja Katolik Sungaipiring didirikan dengan kondisi sangat darurat. Mula-mula umat berjumlah 5 (lima) kepala keluarga (KK). Kebaktian dipimpin oleh bapak Manurung dari Stasi Pulauraja.
Tetapi karena jauhnya Pulau raja ke Sungai Piring maka tidak berapa
lama bapak Manurung digantikan oleh Bapak A. Sinaga menjadi porhanger. Pastor Paroki waktu itu Pastor Arie Van Diemen OFM. Cap.
Utusan umat berangkat ke paroki untuk menemui Pastor Arie van Diemen.
Mereka mengutarakan niat mereka untuk mendirikan gereja yang lebih
layak. Pastor paroki memberi dukungan seraya memberi beberapa
pertimbangan. Kalau hendak mendirikan gereja harus ada pertapakan dan suratnya diserahkan ke Paroki, demikian nasihat Beliau. Karena umat sangat merindukan tempat peribadatan, umat berupaya terus menerus untuk mengindahkan hal-hal yang dianjurkan pastor paroki. Lalu mereka mengurus surat tanah serta menyerahkannya ke Paroki. Sementara itu umat pun tetap semakin bertambah.
Dalam periode tahun 1978-1987 vorhanger A. Sinaga digantikan oleh bapak Silalahi. Umat bertambah menjadi 15 KK dan kesungguhan umat mendirikan gereja semakin kuat. Gereja sangat darurat diubah menjadi gereja sederhana berukuran 7 x 9 m. Waktu itu, Sr Imelda br Harianja, KYM bertugas di Paroki Aekkanopan menganjurkan nama gereja “Kristus Raja“. Vorhanger Silalahi sangat antusias dalam menunaikan tugasnya demi perkembangan umat Allah. Kegigihan
Beliau sungguh memberi andil yang sangat signifikan dalam perkembangan
Gereja. Beliau seorang pemimpin umat yang memiliki dedikasi tinggi dan
iman yang patut diteladani. Sayangnya Beliau cepat menghadap Tuhan Allah Penciptanya. Tepat pada Jumat Agung tahun 1987 sore hari Beliau meninggal. “Bapa Silalahi yang kami cintai: Beristirahatlah dalam damai Tuhan” doa kami menyertaimu dan doakan juga kami.
Pada
tahun 1987 – 1990 porhanger diganti oleh bapak J. Sidabariba. Umat
semakin bertambah menjadi 19 KK. Mengingat pertambahan umat yang
tergolong cepat ini, maka gereja ditambah panjangnya menjadi 7 x 12 m
tetapi masih tetap dengan dinding tepas. Sayang sekali, porhanger J.
Sidabariba cepat pindah tempat ke Jambi. Beliau digantikan oleh bapak A.
Sitorus. Bapak A. Sitorus juga tidak dapat bertugas otimal dan hanya
beberapa saat karena kesibukan Beliau sebagai karyawan kebun RGM.
Pada
tahun 1990 – 1993 Porhanger yang terpilih Bapak J. Sitanggang yang
dilantik Pastor Yakobus, OFM. Cap. Umat yang bertambah jumlahnya
menjadi 22 KK. Meliahat dinding tepas gereja yang sangat memprihatinkan
ini maka tergeraklah hati Pastor Yakobus, OFM. Cap untuk mencari
bantuan pembangunan. Sewaktu Belia pulang tempat asalnya Pulau Jawa
Beliau mencoba mencari dana. Hasil dari usahanya sebanyak Rp.
1.000.000. Swadaya umat dan donasi dari pihak lain menjadi modal untuk
menggantikan dinding gereja menjadi beton setinggi kira-kira 270 cm.
Sementara itu atap masih dalam kondisi semula.
Pada
tahun 1993 – 1996 sesuai dengan masa bakti periodisasinya, pengurus
stasi yang baru diketuai oleh Bapak A. Kaban. Umat terus bertambah
sehingga menjadi 26 KK pada waktu itu. Pada masa ini juga lampu PLN
diinstalasi ke dalam gereja, sebab kegiatan gerejani cukup sering
terjadi pada waktu malam di gereja.
Pada
tahun 1996 – 1999 periode kepengurusan stasi kembali kepada Bapak J.
Sitanggang sebagai Porhanger. Umat bertambah menjadi 28 KK. Pembangunan
tersendat karena krisis moneter.
Pada
tahun 1999 periode kepengurusan stasi, Bapak P. H. Sinaga terpilih
menjadi Ketua Dewan Stasi. Umat mentambah menjadi 30 KK akan tetapi
kondisi gereja juga makin memprihatinkan baik dari segi kekuatan
fisiknya maupun dari segi daya tampungnya. Tiang kayu dan atap gereja
sudah lapuk dan goyang. Kalau hujan turun dan angin bertiup saat
beribadat dalam gereja, umat mengalami ketakutan tertimpa atap yang
sangat rawan roboh. Selain itu, jika terik matahari terjadi pada saat
beribadat dalam gereja, umat juga sangat gerah dan gelisah karena cuaca
panas yang tak bersahabat.
Dengan
kondisi yang sedemikian, umat semakin merasa membutuhkan gereja yang
lebih laik pakai. Bapak Yusuf Masuli, seorang umat kebetulan menjadi
manager PT Lonsum Gunung Melayu. Bapak ini menyemangati dan mendorong
umat terus menerus untuk membangun gereja sehingga terbentuk Panitia
Pembangunan Gereja pada tahun 2000. Beliau bersedia menjadi ketua
pembangunan. Dan sebagai bentuk dukungan kongkritnya, Beliau
menyumbangkan sebanyak 30 truk timbunan tanah. Dan semampu umat
keseluruahan, dana secara serius diupayakan sehingga dapat terkumpul
sekitar Rp 20.000.000 pada tahun.
Dengan
dana sebesar Rp 20.000.000 ini, panitia menghadap P.Nelson Sitanggang,
OFMCap selaku parokus pada saat itu. Kerjasama panitia pembangunan dan
umat dan pihak paroki akhirnya pembangunan dilaksanakan pada tahun
2001 dan dirampungkan serta diberkati pada tahun 2002 dengan
menghabiskan dana kurang lebih Rp 150.000.000.
Umat
mengalami sukacita yang tak terungkapkan ketika megahnya bangunan
berdiri siap untuk diberkati dan dipakai memuji dan memuliakan nama
Tuhan. Rasa letih saat membangun berubah menjadi rasa haru dan bangga
penuh persaudaraan dan suka cita. Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap selaku
Uskup Agung Medan pada saat itu dengan penuh semangat juga
memberkatinya. Pemberkatan gereja ini menjadi lebih meriah lagi karena
pada saat itu juga berkumpul umat se-rayon Asahan untuk merayakan
paskah rayon.
Pada
saat gereja diberkati jumlah umat sudah menjadi 30 KK. Sejak
berdirinya dengan megah gereja Statsi Kristus Raja Sungai Piring ini,
kebanggaan umat juga sangat terasa sebagai orang beragama Katolik.
Kekompakan dan kemandirian mereka juga sangat pantas dipuji dan
diteladani oleh stasi-stasi yang lain. Mereka pantas memang menjadi
umat Stasi Induk Rayon Asahan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh
para pengurus gereja teristimewa Ketua Dewan Stasi Bapak P. H. Sinaga
yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Rayon Asahan pada waktu itu.
Dibawah kepemimpinan Beliau umat sangat dinamis dan selalu seiring
dengan pihak paroki dalam menggembangkan hidup menggereja.
Pada
saat periodisasi masa bakti 2007 – 2010 tongkat estapet kepemimpinan
diserahkan dari P.H. Sinaga kepada Bapak Marihot Situmorang, SPd. Dan
sekaligus juga menjadi Ketua Rayon. Pada saat itu kondisi kesehatan
Bapak P.H. Sinaga makin menurun karena mengidap penyakit kangker. Namun
Beliau masih tetap semangat memberi hati, pemikiran dan tenaga untuk
melayani umat Allah di Rayon dan di Stasi dan bahkan di Paroki. Akhirnya
pada tahun 2010, Bapak P.H. Sinaga setelah begitu lama menderita oleh
kangker, menghebuskan nafasnya yang terakhir. Umat se-stasi, rayon dan
bahkan paroki St. Pius X Aekkanopan betul-betul merasa kehilangan.
Selamat beristirahat dalam damai bersama Bapa di surga Bapak P. H.
Sinaga yang kami cintai dan banggakan.
Masa
bakti kepengurusan (2010 – 2015) stasi Kristus Raja Sungai Piring dan
rayon Asahan selanjutnya masih dipercayakan untuk kedua kalinya kepada
Bapak Marihot Situmorang, SPd. Kemampuan, kebaikan dan keteladanan
Bapak ini tidak kalah dengan yang dimiliki almarhum P.H. Sinaga. Selain
di stasi dan rayon Bapak Marihot Situmorang terlibat juga dalam
kepengurusan DPP St. Pius X Aekkanopan, sebagai anggota Harian DPP dan
juga sebagai seksi Pendidikan Katolik.
Baik
umat di stasi maupun di rayon Asahan, sungguh dilayani Bapak ini
dengan sebaik mungkin. Teristimewa usaha dan pemikirannya sangat
berpengaruh positif dalam pengupayaan rayon yang dinamis dan sungguh
hidup. Hal itu sangat nampak dalam pengupayaan kesatuan umat serayon
untuk mengumpulkan dana pembangunan pusat pelayanan umat di rayon
Asahan. Gerakan Rp 1000 per minggu berjalan cukup menggembirakan.
4. STASI SANTO ROBERTUS AEKNAULI
Sejarah Di sebelah Utara Paroki Aekkanopan terdapat sebuah perkampungan yang dinamai Aek Nauli. Pada tahun 1968, beberapa panombang dari berbagai tempat memasuki kampung ini. Di antara para panombang tersebut terdapat 3 KK yang beragama Katolik, yakni keluarga B. A Silalahi, B. Simbolon, dan J. Sitinjak (Op. Hotlan). Ketiga keluarga tersebut mendaftarkan diri ke gereja Katolik Stasi Padang Mahondang dan untuk sementara beribadat di sana. Bapak B. Silalahi (alm.) merupakan perintis berdirinya stasi Aek Nauli. Beliau menuturkan dalam surat wasiat peninggalannya bahwa umat di Aek Nauli kesulitan beribadat ke Padang Mahondang, karena jarak yang cukup jauh dan kondisi jalan yang tidak bagus. Oleh karena itu, ibadat dilakukan di rumahnya sendiri. Hal ini berlangsung hingga tahun 1973. Pada saat ini jumlah umat sudah bertambah menjadi 5 KK, yaitu tiga keluarga perintis yang sudah disebut di atas, ditambah keluarga S. Siregar dan S. Tampubolon. Pada tahun itu juga, kelima KK ini mendirikan gedung gereja darurat berukuran 5x7 m yang terdiri atas kayu bulat, atap ilalang, dan tanpa dinding. Tanah pertapakan gereja itu sebelumnya adalah milik bapak B. A. Silalahi. Tanah seluas 1,5 rante itu dibayar dengan harga 12 kaleng beras. Letak geografis tanah tersebut adalah sebagai berikut: Utara, berbatasan dengan A. Meri Sihombing (30 m) Timur, berbatasan dengan tanah B.A. Silalahi (25 m) Selatan, berbatasan dengan tanah Siagian (30 m) Barat, berbatasan dengan jalan (14 m). Adapun saksi-saksi antara lain: St. P. Siregar, St. M. Sitinjak, St. S. Tampubolon, dan St. S. Siregar. Namun, pada tahun 1974, gereja tersebut tumbang diterpa angin. Pastor Arie van Diemen membantu mereka untuk membangun kembali gereja yang telah roboh, dengan memberikan seng, sementara bahan lainnya diusahakan sendiri oleh umat. Selama gedung gereja dibangun, umat kembali beribadat di rumah bapak B. Silalahi. Pada tahun 1978, gedung gereja berukuran 6x8 m dengan tiang persegi dan beratapkan seng selesai dibangun. Pada tahun 1980 gedung gereja itu direhab lagi. Gedung gereja semi permanen (setengah beton, 80 cm beton) selesai direhab dengan lantai semen, tetapi dinding gereja belum sempurna hingga pembangunan terbaru pada tahun 2010. Sampai pada tahun ini jumlah umat mencapai 10 KK.
Umat berjumlah 14 KK dengan cacahan jiwa sekitar 72 orang. Keempat belas KK itu beserta jumlah jiwa/KK dapat disebut di sini: A. Jonatan Gultom (4 orang);A. Muti Siagian (4 orang); A. Andri Siregar (4 orang); Op. Jones Simbolon (3 orang); Op. Kamsia Hutagalung (5 orang); N. Sandi br. Siringo-ringo (3 orang); A. Tiar Marbun (7 orang) A. Hendra Sinaga (6 orang); A. Edi Silalahi (7 orang); Op. br. Simbolon (7 orang); Op. Surung Siringo-ringo (5 orang); Op. Tumbur Sitinjak (2 orang); A. Anti Sitinjak (8 orang); A. Buha (7 orang).
5. STASI ST. YOSEF SINARTOBA
Sejarah
Stasi
Sinar Toba berdiri pada tahun 1966. Umat perdana stasi pada waktu itu
berjumlah 4 kepala keluarga (KK). Sebelum gereja berdiri, umat beribadat
di rumah Bapak J. Togatorop. Seorang anak muda bernama Martinus
Eliakim Rajagukguk menjadi Pengurus Gereja yang pertama.
Setahun kemudian (1967), umat bertambah menjadi 8 KK. Mereka mulai
memikirkan pembangunan gedung gereja. Melalui proses pembicaraan dari
waktu ke waktu (yang relatif cukup singkat) akhirnya umat sepakat untuk
membeli sebidang tanah pertapakan gereja seluas 14,5 x 80m.
Pada tanggal 16 Agustus 1967 gereja darurat berdiri dengan ukuran 5 x 6
m. Atap terbuat dari lalang dengan dinding “gedek”, sementara tiang
penyokong bangunan dari kayu bulat yang sederhana. Lantai tanah menjadi
tempat untuk menancapkan bangku yang terbuat dari kayu.
Pada
tahun 1969, gedung gereja yang sederhana ini roboh, karena tiupan
angin kencang. Tak berselang lama sejak terjadinya peristiwa itu, umat
bahu-membahu untuk mendirikan gedung baru untuk dipakai sementara waktu.
Didorong oleh kondisi gereja sederhana yang semakin memprihatinkan itu,
maka beberapa bulan kemudian, umat membangun gedung gereja yang lebih
layak pakai. Ukuran gereja itu adalah 5 x 7m, beratap seng, dinding
papan kasar, tetapi masih berlantaikan tanah.
Dalam perjalanan waktu, jumlah umat bertambah secara perlahan,
sehingga pada tahun 1969 jumlah mereka mencapai 18 kk. Ketua Dewan Stasi
atau porhanger pada masa itu ialah bapak M. E. Rajagukguk. Beliau
dibantu oleh 4 orang sintua yakni, J.Siagian, P.Nadeak, A. B. Manurung
dan A. Roma Siregar.
Dalam
kurun waktu antara tahun 1970 - 1974 perkembangan umat terasa sangat
menggembirakan. Pada pertengahan tahun 1974 jumlah umat mencapai 34 kk.
Akan tetapi, kegembiraan ini tidak berlangsung lama, karena pada akhir
tahun 1974 banyak umat yang pindah untuk “manombang” ke Landong dan
Kuala Bangka, sehingga jumlah umat tinggal 25 kk.
Enam
tahun kemudian tepatnya bulan November 1980 Bapak Martinus Eliakim
Rajagukguk (KDS) meninggal dunia. Hal itu mempengaruhi kinerja para
pengurus yang lain. Beliau digantikan oleh Bapak J. Situmorang.
Pada
tahun 1982, berkat usaha dari Pastor Hubertus Tamba, OFMCap. (Pastor
Paroki) bersama pastor P. Ignatius Simbolon, OFMCap., gereja Katolik
Stasi Sinar Toba memperoleh bantuan dari Bimas Katolik Propinsi Sumatera
Utara sebesar Rp 1.250.000. Maka, pada tahun 1983 gereja semi-permanen
dibangun, dengan ukuran 5x8 m. Dinding gereja bagian depan sudah
terbuat dari beton, sementara bagian belakang masih terbuat dari papan.
Menara sederhana juga dibangun. Pada saat pembangunan ini, jumlah umat
ada 23 kk. Gereja Stasi Sinar Toba memilih St. Yosef sebagai pelindung.
Sebagaimana dihimbau pihak paroki, supaya setiap stasi membuat perayaan
Pesta Pelindung, stasi Sinar Toba berencana untuk merayakannya secara
rutin.
Maju
mundurnya stasi ini ditentukan oleh tanggung jawab dan pelayanan para
pengurus awam di stasi. Maka seraya mengenang dan menghormati mereka
pantaslah nama mereka disebutkan dalam sejarah perjalanan stasi ini.
Dari periode atau masa bakti yang satu ke masa bakti berikut kami coba
paparkan sebagai berikut:
Tahun
1966-1980: Porhanger, Martinus Eliakim Rajagukguk dibantu oleh para
sintua J. Siagian, A. B. Manurung, R. Manik, P. Nadek, J. Situmorang,
A. Roma Siregar. Tahun 1980-1996: Porhanger, J. Situmorang dibantu
oleh para sintua D. Sitinjak (wakil), C. Nainggolan (Sekretaris I), Ibu
br. Siahaan (Sekretaris II), R. Manik (Bendahara), A. B Manurung
(Ketua Seksi Bangunan), J. Siagian, J. Naibaho, M. Ambarita, R. Sigiro.
Tahun 1996-2002: Porhanger, D. Sitinjak dibantu oleh para sintua M.
Ambarita (Wakil), J. Situmorang (Bendahara), M. Manik, S. Sihotang,
H. Sinaga, P. Hutapea (masing-masing sebagai anggota). Periode 2003 –
2006 dipimpin oleh M. Ambarita dan dibantu oleh anggota: D. Sitinjak, H.
Sinaga, A. Siagian dan N. Br. Tanggang. Masa bakti 2007- 2010 kembali
lagi dipimpin oleh D. Sitinjak dengan anggota F. Br. Nadeak, A. Siagian,
S. Br. Hotang, H. Br. Sinaga, M. Ambarita, N. Br. Tanggang, N. Br.
Rajagukguk, B. Hasibuan Masa bakti 2010-2015 : Ketua Dewan Pastoral
Stasi ialah D. Sitinjak dan dibantu oleh para pengurus lain yakni: F.
Br. Nadeak, A. Siagian, S. Br. Hotang, H. Br. Sinaga, M. Ambarita, N.
Br. Tanggang, N. Br. Rajagukguk, B. Hasibuan dan W. Silalahi.
Jarak
stasi ini dengan paroki tergolong dekat. Dalam waktu 20 menit dari
pusat paroki, stasi ini sudah dapat dijangkau. Akan tetapi sering stasi
ini “terlangkahi” karena fokus perhatian tim pastoral dan DPP cenderung
mengunjungi stasi yang jauh. Akibatnya, dalam banyak hal stasi ini
tertinggal dari stasi-stasi yang lain. Untuk mengejar ketertinggalan
ini, tim pastoral mencoba memberi perhatian yang lebih dengan membuat
sermon-sermon khusus hanya untuk stasi ini terutama para pengurus yang
sekarang. Semoga doa St. Yosef menyertai perkembangan stasi ini untuk
semakin baik. Salam.
6. STASI ST. YOHANES PEMBAPTIS TANGKAHAN MANGGIS
Sejarah
Pada tahun 1976, arus
perantau dari Tapanuli khususnya Samosir dan daerah Humbang Hasundutan
cukup deras mengalir ke daerah Kualuh. Kedatangan mereka ke daerah
Kualuh adalah untuk mengadu nasib, karena daerah Kualuh masih tergolong subur dan masih banyak lahan tak bertuan.
Pada tahun 1983 umat Katolik yang tinggal di Tangkahan Manggis bertambah dua KK, yaitu Keluarga Pak Horas Banjarnahor dan keluarga Pak Eriska Nainggolan. Pertambahan ini tentu menambah semangat baru bagi umat. Ketika periodisasi pengurus di Tangkahan Silalahi,
Pak Melody Sitinjak terpilih menjadi pengurus gereja (sintua). Dua
tahun kemudian, yakni pada tahun 1985, keluarga katolik bertambah lagi
sebanyak tiga KK, yakni keluarga Pak A.
Nadeak, Pak Virman Nababan dan Pak Sampe Malau. Pada hari Minggu
mereka berjalan kaki menerobos jalan setapak yang masih rawa menuju
tepi sungai untuk selanjutnya naik sampan menuju Tangkahan Silalahi.
Pada kesempatan inilah mereka menceritakan rencana-rencana ke depan, bagaimana mereka bisa membentuk stasi dan memikirkan pendirian gereja ala kadarnya.
Suatu ketika, saat menuju Tangkahan Silalahi untuk mengikuti ibadat, di
tengah perjalanan sampan mereka karam. Baju mereka basah kuyup, buku
ende juga terendam dan terpaksa mereka pulang ke Tangkahan Manggis dari
tengah perjalanan. Peristiwa ini sangat berkesan bagi mereka, dan selalu mereka ceritakan kepada pastor atau suster yang berkunjung ke sana.
Peristiwa karamnya sampan ini rupanya cukup membuat para ibu-ibu trauma
sehingga sejak peristiwa itu kaum hawa hampir tidak pernah lagi ikut
beribadat ke Tangkahan Silalahi. Kejadian yang sangat berkesan ini
menjadi pemantik semangat mereka untuk semakin serius ke arah
pembangunan gereja mereka sendiri di Tangkahan Manggis.
Niat mereka untuk membangun gereja Katolik ini diinformasikan kepada saudara-saudari seiman di Tangkahan Silalahi. Walau merasa berat, umat di Tangkahan Silalahi merelakan dan mendukung niat ini sambil memberi nasihat agar semangat mereka tidak pudar. Mereka mengatakan “Unang sada so sada, dua so dua, sada pe so saut, gabe sude angka lua”. Sebab memang gereja di Tangkahan Silalahi juga masih butuh dukungan umat yang lebih banyak.
Akan tetapi umat Tangkahan Manggis sudah bulat dengan keputusan mereka. Maka,
pada tanggal 10 Februari 1988, umat Katolik Tangkahan Manggis
mengadakan rapat perdana dan sampai pada keputusan untuk membangun
gereja. Kekompakan mereka sangat terpuji dan semua bersemangat untuk
membangun gereja baru. Pada tanggal 27 Maret 1988 mereka kembali mengadakan rapat untuk semakin memadukan hati, tenaga dan pikiran demi perwujudan tekad bulat mereka dalam membangun gereja baru.
Dalam rapat yang kedua ini (di rumah Pak Virman Nababan), karena alasan ekonomi tiga dari tujuh KK
memilih untuk tinggal di Tangkahan Silalahi. Ketiga Kepala Keluarga itu
adalah Keluarga Pak Berliana Sinaga, Keluarga Pak Horas Banjarnahor dan
Keluarga Pak Sampe Malau. Akan tetapi, dalam rapat yang sama sebanyak
sembilan kepala keluarga sebagai pendatang baru ikut serta memberikan
dukungan. Kesembilan KK tersebut ialah: Kel. Pak Lupok Silalahi, Kel. Pak Rista Batuara, Kel. Pak Butet Habeahan, Kel. Pak Canro Harianja, Kel. Op. Valto Malau, Kel. Op. Rama Nadeak, Kel. Pak Ronald Sinaga, Kel. Pak Rista Gultom dan Kel. Op. Hertua Tindaon. Keputusan rapat ini ada dua, yakni: Pengangkatan panitia inti pembangunan (Op. Valto Malau (Ketua), Op. Rama Nadeak (Wakil), Pak Lupok Silalahi (Sekretaris), Pak Virman Nababan (Penasehat)) dan Menyepakati besarnya iuran, yakni Rp 30.000/KK sebagai modal awal untuk membeli pertapakan gereja.
Pada tanggal 9 April 1988 diadakan rapat ketiga di rumah Pak Melody
Sitinjak. Semua umat hadir dan hasil rapat adalah: (1) Pengumpulan kayu
bahan bangunan yang sudah selesai di-chain saw;
(2) Pada saat kunjungan pastor, hendaknya ditetapkan bahwa umat katolik
yang tinggal di Tangkahan Manggis resmi menjadi salah satu stasi di
Paroki Santo Pius X-Aekkanopan ; (3) Menunjuk dua orang untuk mengikuti
sermon ke sungai Apung.
Pada
tanggal 18-19 Mei 1988 sermon di Sungai Apung diikuti oleh Pak Melodi
Sitinjak dan Pak Anggiat Nadeak. Topik sermon adalah “Gereja Mandiri”,
dipimpin oleh Pastor Simon Sinaga, OFMCap. dan Suster Theodora
Situmorang, KYM. Atas anjuran Sr. Theodora Situmorang, KYM, selesai
sermon, kedua bapak di atas ikut bersama pastor ke Aekkanopan untuk
lebih serius membulatkan tekad mereka dalam membangun gereja dan stasi
baru di Tangkahan Manggis.
Bersama dengan ketua Rayon Kualuh, Gr. Simbolon, pada tanggal 24 Mei 1988, P. Yakobus, OFMCap datang berkunjung ke Tangkahan Silalahi. Utusan dari Tangkahan Manggis datang juga ke Tangkahan Silalahi yakni Pak Melodi, Pak Anggiat dan Op.
Valto. Mereka berterima kasih atas kebersamaan selama ini dengan umat
di Tangkahan Silalahi seraya minta pamit untuk selanjutnya hendak
beribadat di Tangkahan Manggis. Pastor Yakobus, OFMCap memberi jawaban
yang sesuai dengan harapan umat Tangkahan
Manggis dan memberi ijin “manjae”. Pastor tersebut memberi penegasan
bahwa kesatuan gereja Katolik di mana pun harus dinomorsatukan sebab
itulah ciri dan kekuatan kita dalam Tuhan.
Pada kesempatan ini juga pastor memberi kata-kata peneguhan dengan mengatakan umpasa: “Asa tampulak ni sibaganding ma di dolok ni
pangiringan; Horas ma hamu na marhaha-maranggi; Huria Katolik Tangkahan
Manggis Tangkahan Silalahi; Jala marsipairing-iringan” Kemudian beliau menambahkan lagi: “Bintang sidongdong ma i di dolok golgata; Horas ma huria Katolik digomgom Amanta Debata”
Pada tanggal 25 Mei 1988, dalam Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh
pastor Yakobus, OFMCap. dengan resmi dinyatakan pemekaran gereja
Tangkahan Silalahi ke Tangkahan Manggis. Setelah Perayaan Ekaristi,
acara ramah tamah dilanjutkan untuk mengatakan selamat jalan dan selamat
tinggal.
Empat hari kemudian, yakni tanggal 29 Mei 1988, umat Katolik Tangkahan
Manggis mengadakan ibadat perdana di rumah Pak Melody Sitinjak.
Tanggal 5 Juni 1988 selesai ibadat hari Minggu, umat mengadakan rapat
(ke-4) sambil memilih pengurus gereja. Pak Melody Sitinjak (Vorhanger);
H. Nadeak (Wakil); N. Esrika Br Pakpahan (bendahara); H. Nadeak
(Sekretaris); M. Gultom (Sintua); P. Tindaon (Sintua). Pertapakan gereja
disumbangkan oleh keluarga Pak Melody Sitinjak dengan ukuran 20x10 m.
Pada rapat ini juga diputuskan untuk mengadakan gotong-royong penimbunan
pertapakan dan kerja lainya.
Pada tanggal 25 Agustus 1988, Pastor Yakobus, OFMCap datang “marhuria”
ke Tangkahan Manggis sekalian meninjau kerja umat. Umat menyambut pastor
dengan gembira. Pada saat itu juga diadakan permandian dan peresmian. Enam orang yang dipermandikan adalah Sangkot Rinto Tua
Sampe Parlumbanan Gultom; Lando Damsen Hobi Mardongan Gultom; Canro
Harianja; Minton Parhusip; Sondang Marison Sitindaon; Agustina Nadeak .
Pada tanggal 23 Januari 1989, gereja Katolik Tangkahan Manggis selesai
dibangun apa adanya dengan beratapkan nipa. Bangku gereja pun belum ada
sehingga umat harus duduk di lantai papan. Semangat kegotong-royongan
umat sungguh dapat dipuji. Kendati gereja belum rampung, semangat
kesatuan dan kerajinan umat beribadat pantas dipuji.
Dengan kondisi gereja demikian, umat merasa bangga dan damai dalam hati
untuk memuji Tuhan. Kebiasaan Katolik untuk Doa Rosario sejak dini
mereka terapkan. Secara bergiliran mereka menjadi tuan rumah untuk doa Rosario.
Suatu
kali, bahan-bahan bangunan yang diperuntukkan dalam merampungkan
pembangunan, hilang. Dalam perjalanan waktu, sang pencuri tertangkap dan
hal ini menimbulkan gejolak di dusun Tangkahan Manggis. Sempat terjadi
ancam-mengancam untuk membunuh, tetapi kemudian persoalan dapat
diselesaikan dengan baik.
Semangat untuk mengembangkan umat tetap juga terbangun dalam diri para
pengurus yang terpilih. Tanggal 23-29 April 1989, pengurus gereja
Tangkahan Manggis mengikuti Kursus KATEKESE di Tangkahan Habeahan.
Melihat semangat umat dan para pengurus ini, P. Yakobus, OFMCap membantu
dengan meminjamkan uang untuk membeli seng dan papan untuk merampungkan pembangunan gereja. Hal ini menambah semangat para pengurus dan kebanggan umat.
Tanggal 25 November 1989, diadakan pemberkatan gereja, sekaligus melantik pengurus dan saat itu juga diadakan pembaptisan untuk beberapa
umat. Suasana akrab dan sukacita sangat terasa pada pesta ini, terlebih
karena semua umat makan bersama dengan pastor di gereja yang baru.
Nama-nama pengurus yang dilantik oleh P. Yakobus, OFMCap adalah Pak
Melodi Sitinjak (Vorhanger), Pak Anggiat Nadeak (Wakil), Sintua: Pak
Risma Gultom, Pak Marlina Sitindaon, Sekretaris: Pak Anggiat Nadeak,
Bendahara: Ibu Esrika br. Pakpahan; Pengurus Jasmani: Op. Valto Malau,
Op. Rama Nadeak, Pak Risma Gultom, dan Pak Virman Nababan.
Sejak dini semangat kemandirian sudah mulai bertumbuh dalam diri umat.
Untuk memikirkan perkembangan gereja ke depan, umat sudah bergerak
untuk mengadakan pengolahan lahan 0.5 ha sebagai ladang penanaman padi.
Lahan yang digunakan adalah milik Pak Virman Nababan. Pada musim panen
tahun 1991, umat menghasilkan sebanyak 500 kg padi. Hasil panen
tersebut dipinjamkan kepada umat secara bergilir dengan bunga pinjaman
yang berlaku di kampung sekitar.
Semangat kemandirian di atas berjalan cukup baik beberapa tahun. Dari
hasil kerja sama dan kemandirian ini mereka pelan-pelan mengumpulkan
uang untuk rencana pembelian lonceng (50 kg) dan pembangunan menara
gereja.
Pada tanggal 12 Juni 1993, periodisasi pengurus dan pelantikan diselenggarakan. Badan kepengurusan terdiri dari: Pak Melody Sitinjak (Ketua Dewan Stasi), Pak Herman Sitinjak (Wakil), Ibu Elias br Gultom (Bendahara), Pak Marlina Tindaon (Sekretaris), dan guru ASMIKA ialah Pak Risma Gultom.
Berkat pendampingan dan penyemangatan dari P. Cristof Sitompul, OFMCap., maka pada tanggal 27 Januari 1994 untuk pertama kali lonceng gereja Katolik bergaung nyaring. Hal ini sungguh memberikan kebanggaan tersendiri bagi umat di Tangkahan Manggis.
Pada tanggal 15 Oktober 1996 periodisasi
masa bakti pengurus berikutnya diselenggarakan sekaligus pelantikannya.
Mereka yang dipilih dan dilantik ialah: Pak Hermian Simbolon (Ketua
Dewan Stasi), Pak Lamria Sitinjak (Wakil Ketua), Pak Lupok Silalahi
(Sekretaris), Ibu Elias Br. Gultom (Bendahara), Pengurus Lingkungan: Pak
Santo Gultom dan Pak Rotua Rumapea; Anggota: Pak Virman Nababan,
Penasihat/Pembina: Pak Melody Sitinjak. Sejak tahun 1996 -2002, jumlah umat terdiri dari 28 KK. (Cerita proses pembangunan gereja baru masih dalam pengeditan)
7. STASI ST. MATIAS SIMPANG EMPAT
Sejarah
Pada tahun 1970 desa Kuala Beringin mulai dibuka dan dijadikan perkampungan oleh para panombang. Di antara para panombang ini
terdapat beberapa keluarga Katolik sepertti: Op. Mariani Sitorus, Bapak
Manurung bersaudara (abang-adik), A. Derman Sinaga, dan bapak E.
Tampubolon. Mereka saling bertemu dan berkenalan di ladang yang baru
mereka buka. Pada awalnya mereka masih tinggal di pondok-pondok kecil di
tengah ladang. Dalam pertemuan dan pembicaraan mereka terbersitlah
keinginan untuk mengadakan perkumpulan doa. Mereka berencana untuk
mengadakan doa bersama di pondok-pondok agar kehidupan rohani mereka
tetap terpelihara dengan baik. Akhirnya perkumpulan doa itu pun mulai
berjalan secara bergiliran dari pondok ke pondok.
Setelah dua tahun berjalan (1970-1972), mereka kemudian memikirkan
untuk membentuk suatu perkampungan. Mereka sepakat untuk membeli
pertapakan rumah di Sikopi-kopi dan membangun rumah masing-masing
berdekatan dengan yang lain. Akhirnya peribadatan juga berpindah dari
pondok-pondok ke rumah bapak E. Tampu Bolon. Peribadatan itu dipimpin
oleh Op. Mariani Sitorus. Pada saat itu umat Katolik yang ada di Simpang
Empat berjumlah 5 KK.
Pada
tahun 1974 jumlah umat Katolik bertambah menjadi 7 KK. Mereka mulai
berpikir untuk membangun gereja. Akan tetapi karena pertapakan belum ada
dan dana juga tidak mencukupi, maka niat tersebut tidak bisa
direalisasikan dalam waktu dekat. Keinginan untuk membangun gereja
mendapat titik terang pada tahun 1976. Bapak L. Napitupulu, seorang umat
Katolik di stasi Tapian Nauli, memiliki tanah di sekitar Sikopi-kopi.
Beliau bersedia membantu umat Katolik di Simpang Empat dengan
menyumbangkan tanah seluas 1 rante menjadi pertapakan gereja. Pada saat
itu kepemimpinan di stasi Simpang Empat dipegang oleh bapak A. Derman
Sinaga. Dengan kepemimpinannya, A. Derman menggerakkan seluruh umat
untuk bahu-membahu membangun gereja sederhana. Maka berdirilah gereja
sederhana, berdinding papan (sayungan)
dan masih beralaskan tanah. Namun demikian umat merasa bangga, karena
mereka sudah bisa beribadat di gereja, yang merupakan hasil kerja keras
mereka sendiri.
Kepemimpinan
A. Derman di Simpang Empat tidak berlangsung lama. Demi meningkatkan
taraf hidup dan mencari tantangan baru, beliau pindah ke Sidalu-dalu.
Posisinya sebagai Ketua di Stasi Simpang Empat dilanjutkan oleh bapak E.
Tampubolon. Bapak E. Tampubolon akhirya diangkat secara resmi menjadi
Porhanger periode 1979-1984, pada periodisasi pengurus tahun 1979. Pada
masa itu Umat Katolik di Stasi Simpang Empat berkembang cukup pesat.
Pada masa kepemimpinan bapak E. Tampubolon jumlah umat sudah mencapai 18
KK. Dengan jumlah sebanyak ini, gedung gereja darurat yang baru
dibangun tidak mampu lagi menampung seluruh umat. Oleh karena itu
seluruh umat sepakat untuk merehab gereja, sehingga lebih layak pakai
dan layak tampung. Para Pengurus Gereja menggerakkan umat untuk memberi
sumbangan sedaya mampu mereka agar perehaban gereja tersebut dapat
terlaksana. Mereka tidak berani membuat patokan iuran per-KK, karena
pendapatan umat masih cukup rendah. Uang yang terkumpul dari hasil
sumbangan sukarela ini sebesar Rp. 3.000.000,oo. Bapak E. Tampubolon
(Porhanger) melaporkan usaha mereka kepada Pastor Paroki.
Pada
periodisasi tahun 1984, tongkat estafet kepemimpinan beralih dari bapak
E. Tampubolon kepada A. Bona Lubis, untuk masa jabatan selama 5 tahun
(1984-1989). Atas kesepakatan umat, pertapakan gereja ditambah dengan
membeli tanah bapak L. Napitupulu seluas 1 rante. Pada masa kepemimpin
A. Bona Lubis periode berikutnya (1989-1994) gedung gereja diperbesar,
meskipun gereja tersebut masih tetap sederhana.
Pada
periodisasi tahun 1994 tampuk kepemimpinan stasi Simpang Empat dipegang
oleh bapak S. Tampubolon (A. Mangiring). Pada masa kepemimpinannya
banyak umat yang pindah (manombang)
ke daerah lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi
arus perpindahan sebanding dengan jumlah umat yang bertambah, sehingga
jumlah umat di stasi Simpang Empat tetap berjumlah 18 KK.
Masa
kepemimpinan bapak S. Tampubolon berlangsung selama 2 periode, yakni
1994-1999 dan 1999-2001. Pada periodisasi tahun 2001, beliau digantikan
oleh bapak R. Panjaitan. Sebenarnya bapak ini baru 3 tahun menjadi
anggota di Stasi Simpang Empat, karena beliau baru pindah dari Stasi
Kampung Baru tahun 1999. Akan tetapi karena beliau cukup aktif di
gereja, maka umat sepakat untuk memilihnya menjadi KDPS. Beliau masih
tetap menjalankan tugas kepemimpinannya hingga saat ini. Pada saat ini
umat Katolik di Stasi St. Matias, Kampung Baru berjumlah 20 KK.
8. STASI ST. MARIA RATU ROSARI, TELUK AMPEAN
Pada
tahun 1973 panombang dari daerah Tapanuli datang ke Teluk Ampean, untuk
mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka berjumlah ±5 KK. Setelah
mereka mulai menggarap lahan dan membuat perkampungan, timbul niat dari
para panombang ini untuk mendirikan gereja Katolik. Niat ini dirembukkan
bersama dan mereka sepakat untuk mendirikan gereja darurat asalkan
kebutuhan rohani dapat terpenuhi. Gereja darurat ini berdiri tahun 1974
dengan ukuran 5 x 8 meter, atap terbuat dari rumbia, dinding dari bambu
dan bahan lainnya kayu bulat. Semua bahan bangunan ini diupayakan secara
gotong royong. Susunan Pengurus Gereja yang pertama sebagai berikut: A.
Saut Simbolon (Porhanger),
A. Akner Simbolon (Sekretaris), A. Berta Marbun (Bendahara). Pada masa
awal ini umat berjumlah 8 KK. Pastor pertama yang berkunjung dan
melayani stasi ini adalah P. Arie Van Diemen, OFMCap. Selama masa-masa
awal ini, Ibadat Sabda masih sangat sederhana, karena belum ada aturan
liturgi yang jelas. Namun demikian buahnya sungguh dapat dirasakan oleh
umat. Kegiatan berkumpul dan berdoa bersama menambah kekompakan di
antara umat. Bahkan mereka sudah mengadakan doa lingkungan pada
waktu-waktu tertentu. Selain itu, kaum Ibu sudah mulai membentuk
kelompok koor (PIK).
Seiring berjalannya waktu, jumlah panombang ke
Teluk Ampean juga semakin bertambah, dan di antara mereka ada yang
beragama Katolik. Pertambahan ini membuat gedung gereja yang ada tidak
memadai lagi untuk menampung seluruh umat. Untuk mengatasi hal tersebut,
Op. Eko Simbolon mengajak umat berkumpul untuk membicarakan rencana
pembangunan gereja yang baru. P. Arie van Diemen, OFMCap. turut hadir
dalam rapat tersebut. Hasil pertemuan tersebut adalah bahwa pembangunan
gereja diadakan dengan bergotong royong. Sebagai bentuk dukungan, Paroki
memberi bantuan berupa Seng dan Paku. Dengan semangat yang tinggi umat
bergotong royong, mengumpulkan kayu, menggergaji, membawa ke pertapakan
gereja dan membawakan makanan-minuman untuk mereka yang bekerja.
Orang-orang yang sangat berperan dalam pembangunan ini: Op. Eko
Simbolon, Op. Mikael Marbun, Op. Rohotly Sihotang dan Op. Grace
Simbolon. Berkat dorongan mereka umat merasakan kebersamaan
dan semangat dalam membangun. Akhirnya gereja selesai dibangun pada
tahun 1984, dengan ukuran 7x9 M. Ketua Dewan Stasi saat itu masih Op.
Eko Simbolon (A. Saut) dan umat berjumlah 24 KK.
Gedung
gereja yang baru membawa semangat yang baru pula dalam hidup menggereja
stasi Teluk Ampean. Di samping itu tata cara Peribadatan sudah semakin
jelas dan teratur. Seluruh umat dapat mengikuti Ibadat Sabda pada hari
Minggu dengan penuh hikmat. Mereka sungguh menjalankan ajaran Yesus: ”Pergilah ke seluruh dunia, dan wartakanlah Injil.”
Mereka telah merasakan buah dari hidup rohani mereka, maka mereka mulai
berbagi ke daerah sekitar untuk membangkitkan semangat menggereja.
Beberapa daerah yang pantas disebut sebagai daerah pewartaan dari para
tokoh umat di Teluk Ampean antara lain: Sei Peranginan, Sei Piandang,
Teluk Binjei dan Pancasila. Ke daerah-daerah tersebut, mereka mengadakan
kunjungan, berdoa bersama, membawakan koor dan berbagi pengalaman.
Pada tahun 1985 jabatan kepemimpinan (Porhanger)
beralih ke tangan A. Akner Simbolon. Beliau dibantu oleh A. Saut
Simbolon (Wakil), A. Bertha Marbun (Sekretaris), A. Dormian Sihotang
(Bendahara), dan tiga orang anggota (sintua)
yakni: A. Lastina Sinaga, A. Budi Sihotang dan A. Kari Tarihoran.
Selama masa kepengurusan mereka semangat hidup menggereja masih tetap
dapat dibanggakan. Jumlah umat semakin banyak. Demikian halnya dengan
anggota koor, dan lagu-lagunya semakin bervariasi. Pada masa ini
kelompok ASMIKA sudah terbentuk. Mereka dibina dengan baik oleh A. Akner
Simbolon. Pada masa itu, mereka bisa meraih juara I pada Festival di
Paroki.
Periodisasi Pengurus berlangsung pada tahun 1991. Pada saat itu tugas pelayanan sebagai Porhanger
diemban oleh Op. Tio Tarihoran, dibantu oleh Op. Rohotly Sihotang
(Wakil), A. Bertha Marbun (Sekretaris) dan A. Akner Simbolon
(Bendahara). Mereka melayani stasi Teluk Ampean sampai tahun 1994. Pada
periode ini kehidupan menggereja di stasi Teluk Ampean mulai mengalami
goncangan. Hal ini terutama disebabkan oleh keadaan perekonomian yang
semakin merosot. Bencana Banjir, Tikus dan Hama Wereng berturut-turut
menghabiskan tanaman padi di sawah. Umat semakin malas ke gereja. Mereka
sibuk memikirkan keadaan pertanian yang tidak lagi memberi jaminan
hidup. Namun Allah tak pernah meninggalkan umat-Nya. Dalam keadaan putus
asa dan tanpa harapan ini, muncullah kelompok MUDIKA. Kelompok ini
mampu menghibur umat dan membangkitkan kembali gairah hidup umat dengan
menampilkan pertunjukan drama. Mereka dilatih oleh Op. Tio Tarihoran.
Dengan ciri khasnya yang periang, penuh canda dan kocak, beliau mampu
menganimasi MUDIKA dan memberi hiburan yang menarik kepada umat, di
tengah situasi yang cukup berat.
Pada
periodisasi tahun 1994, tampuk kepemimpinan stasi beralih ke tangan Op.
Rohotly Sihotang, dibantu oleh Op. Jutri Sihotang (Wakil), Op. Kari
Tarihoran (Sekretaris), A. Bertha Marbun (Bendahara) dan dua orang
anggota yakni A. Reli Simbolon dan Op. Asep Simbolon. Pada periode, umat
Teluk Ampean mempunyai harapan baru akan perbaikan ekonomi dengan
peralihan dari pertanian padi ke tanaman keras (Karet dan Sawit).
Pada
periode 2000-2003 jabatan Ketua Dewan Stasi dipangku oleh Op. Jutri
Sihotang (Goinrat Sihotang), dibantu oleh A. Reli Simbolon (Bilman
Simbolon) sebagai Sekretaris dan Op. Rohotli Sihotang (Jakorban
Sihotang) sebagai Sekretaris. Pada masa ini Op Rohotly Sihotang dan A.
Asima Simbolom mengusulkan agar stasi membeli ladang dan mengusahainya.
Hasilnya akan digunakan untuk membantu kas stasi dan mempersiapkan dana
pembangunan gereja di kemudian hari. Namun hal itu belum bisa
direalisasikan dalam waktu dekat. Gagasan baru muncul lagi dari Op.
Rohotly Sihotang dan Nelson Simanjuntak (A. Rida) untuk membeli genset,
sebagai inventaris gereja untuk penerangan gereja, kampung dan
rumah-rumah. Para pemakai genset ini menjadi anggota Koperasi, memberi
iuran per-bulan. Akan tetapi hasilnya tidak hanya cukup untuk biaya
perawatan, bahkan sanggup untuk menambah kas stasi.
Pada
periodisasi tahun 2003 Jawalen Simbolon menjadi Ketua Dewan Stasi,
dibantu oleh Elison Sinaga (Sekretaris) dan Nelson Simanjuntak
(Bendahara). Pada masa kepengurusan mereka rencana untuk membeli ladang
direalisasikan. Mereka membeli ladang PSE Paroki yang ada di Teluk
Ampean seluas 2 ha, dengan harga Rp. 5.750.000,oo. Sesuai rencana awal
tanah ini dibeli sebagai persiapan untuk pembangunan gereja. Jika nanti
ternyata bahwa stasi kekurangan dana pembangunan, maka tanah tersebut
akan dijual untuk menambah dana pembangunan. Segera setelah dibeli,
tanah tersebut langsung ditanami sawit. Pengolahan lahan diatur oleh
stasi dan hasilnya diperuntukkan untuk menambah kas stasi. Dengan ini
tampaknya umat stasi Teluk Ampean telah membulatkan tekad untuk segera
mengadakan pembangunan gereja. Akan tetapi niat tersebut belum bisa
segera terealisasi, karena hasil dari kebun Sawit tersebut belum
mencukupi. Sehingga keinginan tersebut sempat hampir hilang.
Akan
tetapi kondisi bangunan gereja yang sudah mulai lapuk dimakan usia
menimbulkan keprihatinan bagi orang yang melihatnya. Hal itulah yang
pertama sekali dirasakan oleh P. Hiasintus Sinaga, OFMCap, ketika
pertama kali berkunjung ke stasi ini untuk meneguhkan perkawinan Juner
Sinaga. Beliau cukup prihatin dengan
kondisi gereja. Oleh karena itu, beliau mengusulkan agar diadakan
sekali kolekte untuk membantu pembnagunan gereja pada waktu acara
peneguhan perkawinan tersebut. Umat Katolik Teluk Ampean merasa malu
dengan kejadian tersebut dan tertantang,
karena umat yang hadir dalam acara tersebut bukan hanya Katolik. Namun
mereka mengambil sisi positifnya. Kejadian itu mendorong para Pengurus,
yang saat itu dipangku oleh Marianus Situmorang (KDPS), Minar Simbolon
(Op. Rianto) dan A. Rida Simanjuntak, untuk semakin giat menggerakkan
umat agar semangat membangun yang sempat tenggelam muncul kembali.
Berbagai cara dilakukan umat untuk mengumpulkan dana, mulai dari
tabungan per-KK, maupun bentuk lain. Tahun 2006 dimulailah pengumpulan
dana pembangunan. Panitia pembangunanpun dibentuk yaitu: Op.
Jutri Sihotang dan A. Lamtiur Situmorang sebagai Penasehat, Op. Rohotly
Sihotang (Ketua), Marlun Sihotang (Sekretaris), A. Rida Simanjuntak
(Bendahara). Untuk mempercepat proses pembangunan, diadakanlah guguan
per-KK. Setelah itu diadakan tabungan pembangunan di tiap rumah tangga,
juga partisipasi dari orang yang merasa terpanggil untuk membantu
pembangunan.
Puncak
dari semangat umat untuk membangun terjadi pada periode kepengurusan
Marianus Situmorang (KDPS), Marlun Sihotang (Sekretaris), dan Nelson
Simanjuntak (Bendahara). Mereka terpilih pada periodisasi tahun 2010 dan
akan memegang tugas pelayanan tersebut sampai tahun 2015. Mereka dan
para Pengurus yang lain, bersama tokoh umat bahu membahu untuk
mengusahakan agar pembangunan gereja dapat segera direalisasikan. Karena
terjalin komunikasi yang baik dengan pihak paroki, maka pada tanggal 16
September 2011, diadakanlan peletakan Batu I Gereja Teluk Ampean.
Meskipun peletakan batu I telah berlangsung, namun masih muncul keraguan
di antara umat akan suksesnya pembangunan tersebut. Stasi Teluk Ampean
hanya memiliki modal sebesar Rp. 63.000.00063.000.000,oo. Sementara taksasi biaya pembangunan berkisar Rp. 363.000.000363.000.000,oo.
Fakta ini tidak menyurutkan nyali mereka. Panitia Pembangunan bersama
seluruh umat dengan gigih mengusahakan cara untuk mengumpulkan dana ini,
termasuk dengan memohonkan bantuan. Usaha mereka tidaklah sia-sia.
Gereja tersebut akhirnya selesai dibangun, dan Bapa Uskup, Mgr. Anicetus
B. Sinaga, OFMCap. memberkati gereja tersebut pada tanggal 03 Juni
2012. Gereja tersebut didedikasikan kepada St. Maria Ratu Rosario.
Interior Gereja Baru
9. STASI SANTO YUSTINUS HUTABARU
Sejarah
Pada tanggal 1 Januari 1969, gereja katolik di Hutabaru memulai langkah awal perjalanan sejarahnya. Pada saat, di kampung Hutabaru terdapat beberapa orang katolik sebagai pendatang dari daerah Tapanuli. Kemudian mereka mengadakan
perkumpulan. Dalam perkumpulan itu selalu diawali dengan ibadat.
Sebelumnya mereka sudah biasa mengadakan peribadatan dari kampung
halaman sebelumnya di daerah asal (Tapanuli).
Rumah
keluarga Bapak Guntar Manurung hampir selalu dipakai untuk pertemuan
mereka. Pemimpin perkumpulkan sekaligus pemimpin ibadat ditangani oleh
Bapak Pengadilan Sihombing. Jumlah kelompok pertama ini ada 9 KK,
ditambah 3 orang pemuda.
Kemudian
perkumpulan ibadat digilir dari rumah umat yang satu ke rumah yang lain
berlangsung selama 1 tahun. Setiap kali mengadakan perkumpulan,
pembicaraan tentang pembangunan gereja selalu menjadi topik yang hangat.
Hasil pembicaraan yang satu ke pembicaraan berikut adalah sebuah
rencana serius untuk mendirikan gereja sangat sederhana.
Robohnya
gereja tidak menyurutkan semangat umat. Justru keadaan ini memperkuat
kerjasama diantara mereka. Akhirnya pada tahun 1971, dengan semboyan
“Dos ni roha do mula ni hadedenggan”, (jiwa kebersamaan adalah awal
kebaikan bersama) mereka saling membahu membangun gereja baru. Gereja
baru ini sedikit lebih kuat dan lebih besar dari pada yang pertama.
Kenangan
indah masih segar terukir dalam hati umat sekarang dimana mereka sangat
merasakan persaudaraan yang penuh kasih kekeluargaan pada awal mula
pendirian Gereja Katolik. Semua umat, mulai dari anak-anak sampai orang
tua turut serta dalam proses pembangunan. Baik pemikiran, waktu dan
tenaga serta materi mereka sumbangkan dengan senang hati dari ketulusan
hati. Orang – orang muda dan keluarga muda mengangkut bahan bangunan
seperti kayu dari hutan ke lokasi pembangunan. Pengangkutan bahan
bangunan masih dengan tenaga manusia, karena kenderaan bermotor belum
bisa masuk ke daerah Hutabaru karena kondisi jalan yang tidak mendukung.
Para orangtua semangat menyemangati dan saling mendukung untuk membuat yang terbaik demi terbangunnya sebuah gereja. Anak – anak juga memberi tenaga sesuai dengan kepatutannya. Para wanita mempersiapkan makanan dan minuman bersama.
Masa
pembangunan awal sungguh merupakan masa perjuangan yang hebat bagi umat
stasi Hutabaru namun sangat mengesankan. Melihat perjuangan dan kerja
keras umat yang begitu besar, dan indahnya kebersamaan yang ada maka
Bapak Samkao dari Aekkanopan sangat terkesan. Ungkapan keterkesanan
beliau adalah sumbangan sejumlah uang (tidak ingat lagi berapa jumlahnya
waktu itu). Akhirnya berdirilah gereja stasi Hutabaru dengan ukuran 7 x
9 m, dinding dari papan dan beratap seng.
Perbaikan
gereja berimbas positif pada pertambahan jumlah umat. Akan tetapi
karena jarak tempuh yang cukup jauh dan kondisi jalan yang tidak
mendukung keluarga-keluarga katolik di Sei Naetek dan Rambong Merah
memilih untuk memisahkan diri dan beribadat di daerah mereka
masing-masing. Maka pada tahun 1975 terbentuklah 3 stasi, yakni ; stasi
Hutabaru, Sei Naetek, dan Rambong Merah.
Pada
tahun 1976 umat stasi Huta Baru berjumlah 25 KK. Jumlah ini meningkat
lagi, sehingga pada tahun 1978 jumlah umat mencapai 30 KK. Akan tetapi,
rupanya pada masa-masa awal ini alam kurang bersahabat. Pada tahun 1979,
benteng Sungai Kualuh
pecah dan terjadilah banjir besar yang menghancurkan padi di sawah yang
sedang menguning, sehingga terjadi gagal panen. Peristiwa ini memaksa
penduduk exodus dari Hutabaru, termasuk beberapa keluarga katolik.
Akhirnya jumlah umat katolik berkurang. Berkurangnya jumlah umat katolik
di Hutabaru juga diakibatkan oleh karena perpindahan umat mencari lahan
untuk menghidupi keluarga yang lain ke tempat lain.
Sejak
mulai masuknya pengusaha untuk membangun kebun sawit pada era awal
tahun 1990-an sejak itu pula gaya hidup masyarakat Asahan dan Labuhan
batu mulai berubah. Perlahan-lahan masyarakat semakin getol bertanam
sawit karena pemasarannya sudah tidak sulit lagi. Sebegitu besarnya
gerakan bertanam sawit maka pemerintah mencoba mengeremnya. Kebijakan
pihak Pemkab dan DPRD Labuhanbatu untuk memberlakukan Peraturan Daerah
(Perda) no. 39 tahun 1998 tentang pemanfaatan dan pengaturan lahan sawah
di Labuhanbatu. Peraturan daerah ini merupakan acuan untuk pembatasan
terjadinya alih fungsi lahan persawahan ke perkebunan sawit.
Perobahan
gaya hidup masyarakat dari bertanam padi menjadi bertanam sawit
mempengaruhi juga gaya hidup peribadatan umat. Dengan hadirnya sawit,
waktu umat ke ladang semakin banyak dan tentunya menjadi lebih letih
dibandingkan ketika hanya bertanam padi seturut musimnya. Kendati
demikian sebagian besar umat masih tetap setia untuk mengadakan
perkumpulan setiap minggu. Satu dua KK memang mulai alpa di gereja pada
hari Minggu.
Stasi
Hutabaru memiliki kebanggaan tersendiri di hadapan seluruh stasi yang
ada di seantero Paroki St. Pius X Aekkanopan karena pastor
pertama dari Paroki Aekkanopan berasal dari Hutabaru, yakni P. Norbert
Ambarita, OFMCap. Meskipun orangtua pastor ini telah pindah ke Pematang
Siantar, tetapi beliau diberangkatkan dari stasi Huta baru. Setelah
ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 5 Desember 1992, P. Norbert
Ambarita, OFMCap., masih mempersembahkan Misa I di stasi Hutabaru.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar